Senin, 16 Agustus 2010

Tingkatan Puasa

Meraih Kesempurnaan Ibadah Puasa

PADA umumnya setiap muslim telah melaksanakan ibadah puasa, mulai dari anak-anak hingga orang-tua. Begitu setiap kali hadir bulan Ramadhan, kita menjalankan ibadah puasa, mulai dari yang berlatih puasa, hingga yang telah bertahun-tahun menjalankan ibadah puasa.

Secara “dhohir” orang berpuasa bisa jadi sama penampakannya. Ada yang tetap semangat dan ada pula yang “agak loyo”, maklum mulai pagi hingga sore hari tidak makan dan minum. Padahal, penampilan lahiriah tadi belum pasti menunjukkan esensi puasa yang sebenarnya. Demikian pula, dari sudut “Bathiniah”, ketika orang berpuasa diharapkan tidak hanya lahiriahnya saja yang berpuasa, akan tetapi bathinnya juga berpuasa. Bukan hanya tubuhnya saja yang di-service tapi juga jiwanya diperbaiki. Nampaknya dimaklumi, kemampuan orang dalam berpuasa pun bermacam-macam, oleh karena itu akan kita dapati tingkatan puasa yang berbeda satu orang dengan yang lain.

Pertama, puasa orang umum, Ibarat kendaraan kelas ekonomi. Tingkatan puasa pertama ini yang banyak kita jumpai hampir di semua tempat. Typologi ini adalah puasanya kebanyakan orang pada umumnya, yakni menahan perut dan kemaluan dari terpenuhinya kesyahwatan makan, minum dsb, tapi belum bisa menjaga diri dari maksiyat anggota tubuh yang lain. Semangat ibadahnya meningkat , di sisi lain maksiatnya juga masih jalan. Atau bisa jadi membalik pola makan dari siang hari ke makan setelah maghrib tiba. Berbuka adalah saat yang menyenangkan, bukan hanya seteguk air membasahi kerongkongan untuk menghilangkan dahaga, bahkan sudah mulai pagi, semua jenis makanan dan minuman dipersiapkan untuk disantap waktu berbuka tiba, seolah-olah semua makanan tadi harus habis disantap.

Kedua, (puasa orang istimewa/ Khawash), kalau kendaraan Kelas Eksekutif, setingkat lebih sempurna bila dibandingkan typology yang pertama. Tidak disembarang tempat kita bisa mendapatkan kendaraan kelas eksekutif, minimal ada di tempat-tempat tertentu saja. Typologi kedua ini, disamping puasa sebagaimana kelompok pertama, ditambah ia bisa menjaga panca indra-nya dari perbuatan dosa. Perutnya benar-benar puasa , bukan hanya menahan diri dari makanan yang haram, tapi juga menahan diri dari yang halal tapi berlebihan bahkan menahan diri dari barang yang subhat. Ketika waktu berbuka tiba, cukuplah sekedar seteguk air membasahi kerongkongan, beberapa biji kurma dan makanan ringan. Rasa bahagia tersungging, kebahagiaan atas nikmat yang diberikan Allah SWT berupa kenikmatan berbuka sebagaimana yang dicontohkan junjungan Rasulullah SAW, juga kesempatan dapat menyelesaikan ibadah puasanya di hari itu. Seharian puasa, tidak menebarkan pandangan matanya dengan syahwat. Atau menjaga lidah dari sendau gurau yang tidak berguna, berdusta, mengumpat, mengadu domba , berkata jorok, caci maki, riya’ , dsb. Atau menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci, sebab segala sesuatu yang yang haram diucapkan , maka haram pula didengarkan. Atau menahan anggota tubuh yang lain dari segala perbuatan dosa, baik tangan ,kaki, dari segala yang dibenci.

Ketiga, puasa orang teristimewa/ khawashil khawash, kalau kendaraan Kelas Super Eksekutif ,tentu saja hanya di tempat tertentu saja kita menjumpainya. Typologi ini , adalah yang menjalankan ibadah puasa seperti tingkatan kedua ditambah hatinya juga puasa dari kemauan yang rendah seperti hasud, ujub, riya’ dsb, serta pemikiran-pemikiran kepada selain Allah ’Azza wa jalla secara keseluruhan.

Demikian tadi beberapa tingkatan puasa, sebagai bahan perenungan dan evaluasi , mungkin kita dapat meneliti kualitas ibadah puasa kita masing-masing. Rasulullah Saw pernah mengingatkan:”Banyak sekali orang yang berpuasa itu, tetapi tidak ada yang diperolehnya dari puasanya itu kecuali hanya lapar dan haus saja” (Diriwayatkan Nasai dan Ibnu Majah)

Imam Al Ghazali memberikan rambu-rambu rahasia Puasa dan Syarat Bathiniah yang hendaknya diperhatikan:

Pertama, Memejamkan mata dan menahan dari leluasanya pandangan kepada segala sesuatu yang menyebabkan kelalaian hati dari berdzikir kepada Allah SWT.

Kedua
, menjaga lidah dari sendau gurau yang tidak berguna, berdusta, mengumpat, mengadu domba , berkata jorok, caci maki, riya’ , dsb.

Ketiga
, menahan pendengaran dari mendengar segala sesuatu yang dibenci, sebab segala sesuatu yang yang haram diucapkan , maka haram pula didengarkan.

Keempat
, menahan anggota tubuh yang lain dari segala perbuatan dosa, baik tangan , kaki, dari segala yang dibenci. Demikian pula menahan perut dari hal-hal yang haram termasuk yang syubhat (tidak jelas haram atau halalnya).

Kelima
, hendaknya jangan makan berlebihan ketika berbuka sekalipun itu makanan halal dan diperoleh dengan jalan halal. Sungguh-sungguh tiada suatu wadah yang paling dibenci oleh Allah SWT lebih dari pada perut yang terisi penuh makanan, sekalipun halal.

Keenam
, hendaklah setelah berbuka itu , hatinya masih mempunyai perasaan yang goncang yakni antara ketakutan kepada Allah Ta’ala dengan penuh harapan untuk diterimanya amalan ibadah puasanya. Begitulah berbagai tingkatan puasa serta beberapa hal yang dapat kita perbaiki agar ibadah puasa kita sempurna guna meraih keridhaan Allah SWT semata. Rasulullah Saw bersabda: ”Barangsiapa mengerjakan puasa pada bulan Ramadhan dengan didasari dengan keimanan dan mengharap balasan dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla ilaaha illa anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaika.
Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada.Mu

Wallahu a’lam bi shawab
.

(Posting by :A.Kuspriyanto)

Selasa, 03 Agustus 2010

10 Sebab Cinta Allah

Kemana Menemukan Cinta
(Bagian Ke-tujuh)

JIKA dalam Syairnya Rabi’ah al ‘adawiyyah pernah berkata bahwa ia mencinta Tuhannya dengan dua cinta; cinta hasrat dengan melupakan segala sesuatu selain-Nya dan cinta karena Dialah Pemilik cinta itu, agar ia pun bisa melihat-Nya tanpa ada hijab yang menghalangi. Jika cinta sejati itu memang benar adanya; maka cinta abadi yang tak bertendensikan duniawi, itulah cinta sejati. Ini artinya ada penyebab yang mengantarkan kepada-Nya?

Allah SWT berfirman :
“Qul inkuntum tuhibbuunallaha fattabi’uunii yuhbibkumullaahu wayaghfirlakum dzunuubakum, wallaahu ghofuururrohiim” Katakanlah “Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran:31)

Berbagai ungkapan cinta pun sering didengar tanpa ada penjelasan secara pasti penyebabnya.

Rintihan kesungguhan kata hatiku terhadapmu
Adalah cinta tanpa batas…

Aku menulis tentang cinta di hati kerinduanku
Yang tersembunyi begitu dalam, di relung kalbuku
Meski panglima perang berkuda mampu kutaklukkan
Aku tak mampu sembunyikan kata hatiku terhadapmu

Begitulah uniknya, ternyata hati itu sering merespon emosional bahkan kadang terkesan tidak begitu perkasa. Apalagi ketika didera dengan hasrat cinta yang menggelora. Tiba-tiba , bahasa Jawa “ujug-ujug”, tiada hujan-tiada angin, berubah seratus derajat. Happy , pesona yang ditaburkan seakan menyedot habis energi yang ada. Demikian sebaliknya, ketika hati terluka, seakan menyayat dikedalaman relung hati. Hiruk-pikuk cinta berubah menjadi sepi, seperti sepinya malam tanpa bintang, tanpa hiasan. Sesekali terdengar sayup-sayub alunan lagu:

Hati ini selalu sepi
Tak ada yang menghiasi
Seperti cinta ini
Yang selalu pupus

Tuhan kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanya

Mawar ini semakin layu
Tak ada yang memiliki
Seperti aku ini
Semakin pupus

Oleh karenanya, cinta mengandung konsekuensi yang harus dipenuhi. Pertama, bahwa dalam rangka mendapatkan perspektif dari Yang dicintai, seorang pencinta harus memenuhi keinginan dan perintah dari Yang Dicintai. Inilah ujian dalam cinta. Cinta tidak bisa dipungkiri membutuhkan pengorbanan demi yang dicintai. Di sisi lain, dituntut pula untuk mematuhi segala ketentuan-Nya.Tanpa mematuhi perintah, tidak akan ada persatuan cinta, sebab cinta sejati tidak sepatutnya mengandung pembangkangan terhadap sang Kekasih. Atau dalam bahasa Sufi, tanpa (mematuhi) syariat, tidak akan muncul hakikat (cinta).

Kedua
, secara batin seorang pencinta tidak boleh berpaling kepada sesuatu selain sang Kekasih atau segala sesuatu yang membuat seseorang lupa kepada-Nya.

Berikut ini, ada beberapa sebab yang mengantarkan orang menuju cinta yang hakiki, tentu jauh berbeda dengan cinta pada umumnya. Karena cinta ini merupakan ibadah hati sebagaimana ibadah-ibadah yang lain, Allah SWT berfirman:”Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu,” (QS. Al Hujurat:7)
Ibnu Qayyim mengatakan bahwa diantara sebab-sebab adanya cinta kepada Allah ada 10 perkara:

Pertama, membaca Al-Qur’an, menggali dan memahami makna-maknanya serta apa yang dikehendakinya
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus menerus berdzikir dalam setiap keadaan
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah diatas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu,
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya,
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah
Kedelapan, berkhalwat(menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun ke langit dunia.
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur,
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah.

Maka dengan kerendahan hati dan kepasrahan harap kita berdo’a:

Ilahi anta maqshuudi wa ridhoka mathluubi

a’tini mahabbataka wa ma’rifataka
(Tuhanku, Engkaulah yang kutuju dan ridho-Mu yang kuharapkan,
berikanlah daku kecintaan dan makrifat kepada-Mu)

Allahumma inii as aluka hubbaka wa hubba man yuhibbuka
(Ya Tuhanku, aku memohon agar Engkau karuniakan cinta kepada-Mu, dan agar aku bisa mencintai orang-orang yang mencintai-Mu)

Subhanakallahumma wabihamdika asyhadualla ilaaha illa anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaika. Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada.Mu

Wallahu a’lam bi shawab.
(posting by : A.Kuspriyanto)

Minggu, 01 Agustus 2010

Sebuah Renungan Nyadran

Media berbakti Orangtua

KETIKA menjelang bulan Ramadhan, tepatnya di bulan Ruwah sering kita berkesempatan menikmati suasana “nyadran” di kampung halaman. Sekedar plesir, kuliner ke kampung halaman atau pulang berziarah ke orang tua atau makam leluhur. Konon nyadran berasal dari bahasa Arab, Sadrun artinya dada, maksudnya bersihkan dada (hati) kita dari segala hal yang kurang baik. Ada juga yang mengatakan Sadran berasal dari kata sudra (orang awam), mengandung maksud agar kita dapat menjadi orang yang “merakyat” dapat bergaul semua lapisan masyarakat termasuk para kawula “alit”.

Berbagai makanan simbolik pun diadakan, apem misalnya, konon apem yang sebenarnya berasal dari bahasa arab afwun; maafkan atau excuse me, sehingga menurut lidah Jawa dari pada “ngomong Arab” lebih fasih dikatakan apem. Tidak hanya apem yang kita cicipi, ada kolak dan ketan. Kolak juga berasal dari kata Manca Negara yakni Qola artinya katakanlah. Demikian pula ketan, dari kata khata-a, artinya kesalahan atau khilaf. Maka berbagai rangkaian metaforik dari makanan tadi mengandung pesan katakanlah atau mohonlah maaf atas segala salah atau khilaf. Pesan sederhana yang mengandung makna mendalam, sehingga akan mendorong setiap orang untuk sejenak introspeksi diri (muhasabah). Melihat diri yang dhaif ini, yang seringkali memandang kesalahan orang lain dibandingkan diri sendiri. Ibarat Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang lautan pun kelihatan. Maka sekali lagi, excuse me, my friends.

Nyadran sebagai istilah menurut Mudjahirin Thohir, merupakan ekspresi simbolik :Pertama, leluhur itu asal-muasal geneologis bagi setiap individu (keluarga) yang bersangkutan. Tanpa memahami leluhurnya sama artinya dengan melangkah tanpa pijakan. Kedua, karena keberadaan itu maka anak keturunan tidak melupakan, tetap menjaga hubungan dalam bentuk hubungan simbolik. Ketiga, cara bagaimana memelihara hubungan tadi adalah dengan menziarahi , dan mendoakannya dalam memasuki alam keabadian. Keempat, menziarahi dan dan mendoakan adalah pertanda memperhatikan dan menghormati orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.

Begitulah banyak pesan mendalam yang sebenarnya ingin dikomunikasikan kepada kita. Setidaknya kita diingatkan untuk menjadi orang yang “memuliakan dan menghormati orangtua , atau para leluhur yang telah berjasa kepada kita”.Jelas dan pasti, lantaran beliau telah berjasa dalam kehidupan ini. Dengan segala susah payah seorang ibu telah mengandung kita selama 9 bulan. Tidur miring susah, tidur terlentang juga repot apalagi tengkurap, lebih susah lagi. Kemudian dengan perjuangan antara hidup dan mati kita pun dilahirkan. Tidak berhenti disini, beliau mengurus kita sampai saat ini, memberikan sebuah cinta yang tulus, cinta yang tak kan pernah tergantikan.

Demikian pula seorang ayah, dia adalah orang yang telah memperjuangkan hidupnya, membanting tulang- memeras keringat untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, kepada kita agar keluarganya dapat hidup layak dan nyaman. Lantas kemudian apa yang kita berikan buat mereka? Jangankan mengirimkan uang setiap bulan, berziarah pun terasa berat. Tetapi itu masa lalu, belum sempat kita berbuat baik kepada mereka, belum sempat kita membalas kebaikan mereka. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

Sekali waktu, kita teringat sabda Rasulullah SAW ketika ditanya:”Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?” Beliau bersabda:” Ya, ada, yaitu empat hal; mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya.” (HR Abu Daud).

Kemudian rasa sesal pun bergelayut, tapi apakah itu sebuah solusi? Dan kesempatan masih terbentang lebar, selebar cakrawala. Akankah kita meraihnya dengan ketulusan maaf di hati. Bukalah Maaf-Mu untuk ku, excuse me.

(by : A.Kuspriyanto)