Kamis, 23 Desember 2010

Perjalanan Cinta


Kemana Menemukan Cinta
Bagian Ke-delapan
Posting by : A.Kuspriyanto

SEPANJANG sejarah, di kalangan orang-orang arif yang membicarakannya, cinta adalah sesuatu hal yang tidak pernah habis untuk dibicarakan, dan tak akan pernah surut untuk diapresiasi. Bahkan tidak bisa dipungkiri maka sesungguhnya semua kebaikan, keindahan, kecantikan, ketentraman, kedamaian dan hal-hal yang baik , semua pada dasarnya dilandasi dan muncul karena cinta. Semua kecintaan yang kita tujukan kepada siapapun dan kepada apapun, cinta akan memiliki nilai keluhuran dan ketinggian derajad bila dilakukan demi sesuatu dan untuk sesuatu yang mulia.

Hidup adalah sebenarnya rangkaian perjalanan cinta. Coba kita tanyakan pada beningnya jiwa, bisakah hidup tanpa cinta? Kendatipun mata terpejam, raga terkulai lemah tak berdaya, mulut tak kuasa mengucap, tapi betapa jiwa masih bergetar merasakannya. Perjalanan sang waktu akan memberikan bukti benarkah hati meraihnya dengan tulus suci. Ataukah cinta hanya akan membawa kepada kehinaan diri dan petaka.
Sebagaimana yang diungkapkan Hamka bahwa cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Cuma tanahlah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun kedurjanaan , kedustaan, penipu, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, budi pekerti yang tinggi dan lain-lain perangai yang terpuji.

Banyak cerita roman yang penuh haru-biru cinta dan pengorbanan, yang seolah menjadi inspirasi para pemujanya yang rela mengorbankan hidupnya demi sebuah cinta. Begitu tak berdayanya hati ketika tiba-tiba badai cinta menggelora di dada. Seolah menyimpan kekuatan yang maha dasyat yang akan mampu menembus dimensi ruang dan waktu.

Lihatlah bagaimana mashurnya kisah Laila Majnun buah karya Nizami. Sebuah kisah dari cerita rakyat Arab, tentang perjalanan cinta seorang gadis cantik bernama Laila dengan seorang pemuda bernama Qais. Kekuatan cinta dua anak manusia ini, ternyata tidak membuat mereka berdua berhenti untuk saling mencintai, kendatipun terhalang berbagai rintangan. Qais tersiksa hatinya karena kasihnya tak sampai. Sang buah hati telah dinikahkan dengan Saudagar kaya Sa’ad bin Munif. Hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu obat pun yang yang bisa menyembuhkan sakitnya hati, meskipun orangtuanya telah mendatangkan banyak Tabib ternama. Sehingga karena begitu besarnya hasrat cintanya kepada Laila yang tidak mampu ia tundukkan, membuat Qais seperti berperilaku aneh. Ketulusan jiwa dalam derita mengilhami dalam syair dan puisi yang mengalir menentang takdir mereka. Karena perilaku aneh Qais, yang sibuk dengan dirinya sendiri bahkan sering terlihat berbicara sendiri, tetap saja orang di kampungnya menyebutnya majnun yang berarti kurang sempurna pikirannya.
Demikian pula tidak kalah menderitanya Laila, meskipun telah diperistri Saudagar kaya, ia tetap mencintai Qais. Karena tak kuat menahan penderitaan cinta, Laila akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Pada akhirnya kedua anak manusia ini dipersandingkan dalam pusara abadi. Di atas ke dua pusara ditumbuhi dua rumpun bambu yang konon pucuknya saling berpelukan yang masyhur dikenal dengan maha karya kisah Laila – Majnun.


Kita juga menyaksikan bagaimana kisahnya sang Romeo dan Juliet karya Shakespeare yang berujung tragis atas perjuangan cinta. Demikian bagaimana kisahnya Rose De Witt dan Jack Dawson yang tenggelam di Samudera bersama Kapal Titanic. Atau kisah cintanya Roro Jonggrang, atau berbagai kisah romantik cinta yang masyhur, seolah menjadi ’publik figur’ bagi para pemujanya, yang selalu mengagungkan cita-cita cinta.

Memang tidak bisa dipungkiri, energi cinta begitu dasyat. Cinta dapat mengubah manis menjadi pahit, derita menjadi nikmat, kemarahan menjadi kerinduan dan seterusnya. Tuhan menganugerahkan sekeping hati kepada kita untuk menjaganya yaitu cinta. Karena cinta ini berada di tempat yang labil, sebagaimana Sabda Rasulullah Saw, "hati itu bersifat gampang terbolak-balik bagaikan bulu yang terombang ambing oleh angin yang berputar-putar. Oleh karena itu agar nyaman, kalau bisa cinta itu ditempatkan secara proporsional . Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan :” Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu.” Dalam Hadist Riwayat At Tirmidzi Rasulullah Saw bersabda:”Tali iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.”.

Lantas sebenarnya kemanakah langkah cinta kita mengabdi? Benarkah cinta ini tertuju, bila hati masih menyimpan geram. Tentunya cinta hakiki dari sekeping hati seorang yang beriman, adalah cinta yang bersumber dari kecintaan Allah SWT dan karena untuk menggapai ridho-Nya. Maka berbagai jalan terbentang yang dapat diwujudkan dalam aktivitas kehidupan tanpa batas ruang dan waktu. Ketulusan cinta yang mampu membangkitkan semangat, yang mampu merubah menjadi lebih baik. Semoga....!

Wallahu a’lam bi shawab.

Kamis, 16 Desember 2010

Membangun Ukhuwah Islamiyah

Mengurangi Rapuhnya Komunitas
Posting by : A.Kuspriyanto

BERSATU Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh. Begitu sering kita dengar sebuah pepatah yang tidak asing lagi. Dalam membangun sebuah komunitas, baik itu dalam keluarga, masyarakat ataupun yang lainnya, mutlak diperlukan sebuah kekompakan, kebersamaan , persatuan. Tanpa adanya kekompakan, kebersamaan dan persatuan suatu komunitas akan mustahil dapat mempertahankan keutuhannya, bahkan akan cerai-berai. Apalagi di saat ini, tantangan zaman yang modern dan gaya hidup yang semakin sekuler , disinyalir adanya penurunan kualitas sebuah komunitas, dengan kata lain rapuhnya komunitas kita.
Benarkah sekarang kita berada dalam komunitas yang rapuh? Sebuah pertanyaan yang mungkin pernah hinggap di benak kita. Kalau kita cermati dan saksikan berbagai peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Lebih-lebih saat ketika rame-nya orang memperjuangkan sebuah kepentingan organisasinya masing-masing. Begitu besarnya semangat “egoisme” individu atau kelompok itu mengkristal , seolah jauh dari semangat kebersamaan dan persaudaraan.

Mungkin ada benarnya, isyarat yang disampaikan Rasulullah Saw 14 Abad yang lalu akan terjadinya suatu komunitas yang rapuh. Kerapuhan mereka bukan karena jumlahnya yang minoritas, akan tetapi justru ironisnya mereka mayoritas dari segi kuantitatif. Akan tetapi dari segi kualitatif mereka sungguh memprihatinkan. Diibaratkan oleh Rasulullah SAW mereka ibarat buih yang terapung-apung di atas air bah. Lebih disayangkan lagi dengan jumlahnya yang besar hanya dijadikan ‘bahan rebutan’ bagi yang berkepentingan ibarat makanan dalam hidangan yang diperebutkan oleh orang-orang yang lapar.

Nabi Muhammad SAW pernah memberikan isyarat kepada Sahabatnya tentang keadaan umat Islam di akhir zaman, “ Akan datang suatu masa, umat lain akan memperebutkan kamu, ibarat orang-orang yang lapar memperebutkan makanan dalam hidangan. Sahabat menanyakan:”Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit, ya Rasulullah? Dijawab oleh beliau, “Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualitas kamu ibarat buih yang terapung-apung di atas air bah. Dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa”. Sahabat bertanya :”Apa yang dimaksud kelemahan jiwa, ya Rasulullah?” Beliau menjawab:” Yaitu cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Daud)

Kondisi yang digambarkan Rasulullah Saw di atas, mungkin bisa jadi ada pada diri kita atau di lingkungan kita. Karena kendatipun tubuh kita sehat, otak kita cerdas, tapi jiwa kita lemah. Kelemahan jiwa itu dijelaskan Rasulullah karena terjangkit penyakit yang dapat menurunkan kekuatan ukhuwah “cinta dunia dan takut mati”. Berbagai upaya yang dilakukan dan keinginan hanya dipusatkan untuk mencapai kesenangan dunia semata-mata. Semua usahanya diperhitungkan dan dihargai dengan keuntungan dunia semata, sekalipun apa yang dikerjakan merugikan orang lain. Demikian pula, perjuangan dalam usaha agama semakin menipis, bahkan nyaris tidak ada lagi gemanya. Oleh karena itu, berbagai upaya seharusnya dilakukan untuk mengokohkan ukhuwah islamiyah.

Membangun Ukhuwah Islamiyah

Sesungguhnya sebagai umat manusia berdasarkan fitrahnya memiliki keinginan saling kerjasama, saling bantu membantu dengan sesama. Begitu pula kita selaku umat Islam, sudah barang tentu semestinya memiliki jiwa persatuan dan persaudaraan kepada sesama, terlebih kepada sesama Umat Muslim (ukhuwah Islamiyah), karena ukhuwah islamiyah ini termasuk perintah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujuurat : 10, yang artinya:” Sesungguhnya orang-oran mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan betaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat .”

Meskipun dimaklumi bahwa hidup ini banyak masalah yang terkadang menjadikan salah paham, pertentangan, permusuhan dan bahkan peperangan. Akan tetapi, hendaknya jangan sampai mengabaikan ukhuwah islamiyah. Tentunya kita harus memiliki visi, misi dan semangat idealisme yang tidak boleh padam, yakni dalam upaya memperjuangkan Agama Allah, tegaknya agama Islam. Insya Allah permasalahan yang ada dapat dicarikan solusi secara bijaksana dalam kebersamaan.

Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk memupuk rasa persaudaraan (ukhuwah) tersebut , saling melengkapi –saling membantu, di sisi yang lain kita juga menyadari ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sungguh tidak ada orang yang sempurna di dunia ini, karena ini merupakan sunnatullah.

Toleransi , saling menghormati dan memahami terhadap sesama ini sangat baik untuk dipupuk dan dikembangkan. Sehingga diharapkan meskipun ada perbedaan faham, khilafiyah furuiyyah, aspirasi politik dsb, tidak menjadi pemicu perpecahan sesama umat Islam, yang pada akhirnya akan menjadikan terganggunya ukhuwah islamiyah.


Perbedaan-perbedaan tersebut diatas, diperbolehkan dalam Islam, karena kita tidak mungkin dijadikan satu saja tanpa sebuah perbedaan, tetapi memiliki kepentingan yang tidak mesti sama. Namun demikian, hal yang perlu dihindari adalah sifat ta’asyub jahiliyah, yakni merasa bahwa faham, politik dan pendapatnyalah yang paling benar, sehingga kadang tidak bisa memahami akan kepentingan orang lain, bahkan lebih jauh mengabaikan kepentingan yang lebih besar, ukhuwah islamiyah.

Satu hal yang perlu direnungkan bahwa kita tak akan mungkin meraih kejayaan tanpa ada persatuan dan kesatuan, yang didasari dengan ukhuwah islamiyah yang solid, jauh dari sifat ta’asub jahiliyah. Oleh karena itu, maka sudah menjadi kebutuhan kita semua untuk saling bantu membantu dalam kebaikan untuk meraih ridho Allah SWT. Sebagaimana Firman Allah dalam QS Al Maidah : 2 ” Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksanya”.

Wallahu a’lam bi shawab.

Senin, 13 Desember 2010

Hari Asyura'

Perbanyak Sedekah di Hari Asyura’
Posting by : A.Kuspriyanto

BULAN Muharram adalah bulan pertama dalam sistem kalender Islam. Banyak keutamaan di dalam bulan Muharram ini sehingga disebut bulan Allah (syahrullah). Pada bulan ini terdapat hari yang masyhur , tepatnya pada tanggal 10 Muharram yang dikenal sebagai hari asyura’. Allah menyelamatkan nabi Musa as dan bani Israil dari kejaran Fir’aun. Mereka memuliakannya dengan berpuasa. Kemudian Rasulullah menetapkan puasa tanggal 10 Muharram sebagai rasa syukur atas pertolongan Allah.

Ibnu Abbas r.a berkata: "Ketika Nabi saw telah hijrah ke Madinah maka ia melihat orang-orang Yahudi puasa pada hari asyuraa, maka Nabi saw bertanya : Hari apakah yang kamu berpuasa? Jawab mereka: Hari ini hari besar. Pada hari ini Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Fir’aun dengan tentaranya, maka Nabi Musa as telah berpuasa untuk syukur kepada Allah, dan kami pula puasa pada hari ini. Maka sabda Nabi Saw bersabda:”fanahnu ahaqqu wa aula bimuusaa minkum fashoomahu warasuulallahi shollallahu ‘alaihi wassalama wa amara ash-haabahu bishaumihi.” Maka kamilah yang lebih layak mengikuti Musa dari pada kamu, lalu nabi saw puasa dan menyuruh sahabat-sahabat supaya puasa. (HR Bukhari, Muslim). Yakni Rasulullah saw merasa lebih layak untuk mensyukuri dan memperingati hari-hari kemenangan agama Allah dan perjuangan–perjuangan para Nabi - RasulNya.

Dalam keterangannya Imam Al Faqih menyebutkan bahwa disebut ‘asyura’ karena persis hari kesepuluh Muharram. Sementara menurut pendapat yang lain, karena para Nabi dimuliakan dengan 10 kehormatan:
1. Diterimanya taubat Nabi Adam as
2. Diangkatnya derajat Nabi Idris as
3. Mendaratnya kapal Nabi Nuh as. (Hampir 6 bulan lamanya umatnya yang ingkar dimusnahkan dengan bencana banjir topan (tsunami) , hingga tersisa 80 orang pengikut setia yang selamat).
4. Dilahirkan dan dilantiknya nabi Ibrahim as selaku khalilullah, serta diselamatkannya dari kobaran api Namrudz
5. Diterimanya taubat nabi Daud as
6. Diangkatnya nabi Isa as ke langit
7. Diselamatkannya nabi Musa as
8. Ditenggelamkannya Fir’aun
9. Dikeluarkannya Nabi Yunus dari dalam perut ikan
10. Dikembalikannya kerajaan Nabi Sulaiman as.

Abu Qatadah ra berkata: ” Suila Rasuulullahi Shallallahu ‘alahi wassalam ‘an shiami ‘aasyuuraa’? Faqaala : Yukaffirussanatal maadhiyah . Rasulullah saw ditanya tentang puasa ‘asyuura’, maka jawabnya : dapat menebus dosa setahun yang lalu" (HR Muslim)
Dosa-dosa yang terlebur karena amal ibadah itu adalah dosa-dosa kecil, adapun dosa-dosa besar, harus melalui taubat dengan mengikuti syarat-syaratnya.

Maka kita dianjurkan berpuasa pada hari Asyura’ yang dapat dilaksanakan dengan beberapa pilihan dengan satu hari sebelum atau sesudahnya, tanggal 9, 10 atau 10, 11 atau 9, 10 dan 11. Rasulullah Saw bersabda:” Puasalah kalian pada hari Asyura, bedakanlah dengan orang-orang Yahudi, berpuasalah satu hari sebelum dan sesudahnya.”
Selain berpuasa, umat Islam juga dianjurkan untuk memperbanyak sedekah pada kaum fakir-miskin dan bersedekah kepada keluarga, menambah uang belanja rumah tangga dengan cara yang sesuai syar’i, serta menyantuni anak yatim.

Wallahu a’lam bi shawab

Jumat, 10 Desember 2010

Sami'na Wa atho'na


Menyoal Sebuah Kepatuhan
Posting by : A.Kuspriyanto

SETIAP kali kita menerima suatu himbauan Agama (ajakan secara halus), atau yang lebih keras ‘sebagai suatu perintah’, biasanya kita akan memberikan respon terhadap ajakan tsb. Ada yang hanya didengar, kemudian ditindaklanjuti; didengar ditanyakan bahkan diperdebatkan tetapi tidak pernah dilaksanakan atau bahkan didengar, dipikir-pikir tapi diabaikan atau dilanggar.

Memang bisa dimaklumi Era globalisasi, sering semua masalah digenerasilasi harus dipikir sampai “jlimet”, ini lho yang namanya rasional. Rene Descartes mengatakan ”cogito ergo sum” yang artinya aku berpikir, maka aku ada, yang mengandung maksud bahwa dengan berpikir mampu mengadakan sesuatu. Padahal sebenarnya berpikir bukanlah bisa mengadakan sesuatu tetapi hanya menyadari keberadaan sesuatu. Nampaknya pikiran manusia tidak akan pernah menjangkau hakikat keberadaan Tuhan, hakikat sebuah kebenaran yang hakiki dan sebagainya yang bersifat abstrak.

Secara sederhana keluguan kepatuhan terhadap hukum ini pernah diungkapkan dalam kisah seorang pembantunya Nabi Muhammad SAW yang bernama Robiah. Saking setianya, sampai seluruh hidupnya digunakan untuk berbakti kepada Kanjeng Nabi dengan keikhlasan hingga akhir hayatnya. Bahkan ketika ditawari untuk berhenti bekerja , karena mungkin usianya sudah udzur, dia menolak dan ingin terus mengabdi kepada Kanjeng Nabi Saw. "Biarkan saya bersamamu ya Rasulullah mulai di dunia sampai di surga nanti," katanya. Rasulullah tidak bisa menolak permintaan pembantunya itu. Hanya saja dia memberi isyarat,"Kalau kamu ingin bersamaku di dunia sampai di jannah nanti, kamu harus banyak bersujud." Pernyataan beliau langsung diamini oleh Rabiah,"Sami'na wa atho'na." Ini bentuk kepatuhan yang saat ini sering diperdebatkan, kepatuhan yang ikhlas tanpa reserve.

Nampaknya berbagai kemungkinan bisa terjadi di muka bumi ini. Sebuah Hadist dari Rasululah SAW yang cukup panjang, diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Hurairah r.a berkata: “Ketika turun ayat : Lilahi mafis samawaati wama fil’ ardli wa in tubdu ma fi anfusikum au tukhfuhu yuhaasibkum bihillah. (Bagi Allah kekuasaan langit dan bumi, apabila kamu keluarkan isi hatimu atau tetap kamu sembunyikan akan diperhitungkan oleh Allah). Terasa berat yang demikian itu pada sahabat-sahabat Nabi SAW sehingga mereka datang kepada Rasulullah dan jongkok sambil berkata : Ya Rasulullah kami dapat menerima kewajiban-kewajiban yang dapat kita kerjakan, yaitu sembahyang, jihad, puasa dan sedekah. Dan kini telah diturunkan ayat ini, kami merasakan tidak dapat melaksanakan dan tidak kuat menanggungnya. Rasulullah bersabda: “Apakah kamu akan berkata sebagaimana Ahli kitab-kitab yang sebelummu; Kami mendengar dan melanggar. Kamu harus berkata: Sami’na wa atho’na (Kami mendengar dan taat) Ghufranaka Rabbana wa ilaikal mashir (Ampunkan kami ya Tuhan kami dan kepadaMu bakal kembali) Dan ketika ajaran itu telah dibaca oleh para sahabat, sehingga ringan lidah mereka membacanya. Allah menurunkan ayat lanjutannya: Aamanar rasulu bima unzila ilahii min rabbihi wal mu’minuna kullun aamana bilahi wamalaikatihi wa kutubihi wa rasulihi la nufarriqu baina ahadin min rasulihi wa qaalu sami’na wa atha’na ghufranaka rabbana wa ilaikal mashir. (Sungguh telah percaya Rasulullah dengan apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, juga kaum mukminin masing-masing telah percaya kepada Allah dan MalaikatNya dan Kitab-KitabNya dan Nabi-nabi UtusanNya, tidak membeda-bedakan salah seorangpun dariutusan-utusan itu, dan berkata mereka: Kami mendengardan taat, ampunkanlah hai Tuhan kami dan kepadaMu akan kembali). Dan ketika telah dilaksanakan demikian itu Alah memansukhkan hukum ayat yang di atas dengan ayat yang terakhir yang berbunyi : La yukallifullahu nafsan illawus’aha laha ma kasabat wa alaiha maktasabat (Alah tidak memaksakan pada seseorang kecuali sekuat tenaganya, baginya keuntungan dari usahanya, sebagaimana diatas tanggungan resiko apa yang telah dikerjakannya. Rabbana la tu’akhidzna in nasina auakh-tho’na. Dijawab : ya” Robbana wala tahmil alaina ishran kama hamaltahu ‘alladziina min qoblina. Dijawab : “ya” Rabbana wala Tuhammilna mala thoqota lana bihi. Dijawab :”Ya” Wafu’anna Waghfir lana warhamna anta maulana fanshurna alal qaumil kafirin. Dijawab: “ Ya” (Ya Tuhan kami janganlah menuntut kami jika kami lupa atau keliru, Jawabnya: Ya, Ya Tuhan kami, jangan menanggungkan pada kami keberatan-keberatan sebagaimana yang Tuhan yang tanggungkan pada orang-orang yang sebelum kami, Jawab Ya. Ya Tuhan kami jangan menanggungkan pada kami yang diluar kekuatan kami. Jawabnya: Ya. Maafkanlah kami dan ampunilah kami, dan kasihanilah kami. Engkau pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi kaum kafir. Jawabnya: Ya). (HR Muslim dikutip dari Riadhus Shalihin)

Wallahu a'lam bi shawab

Selasa, 07 Desember 2010

Selamat Tahun Baru 1432 H

Tak Ada Yang Terlepas Dari Pengawasan-Nya
Posting by : A.Kuspriyanto


TIADA terasa waktu ini berlalu. Saat ini Kita berada di penghujung tahun 1431 H, sebentar lagi kita jelang detik-detik memasuki tahun baru 1432 H. Ini artinya sesaat lagi umur kita bertambah satu tahun dan kita tak akan mungkin bertemu lagi dengan tahun yang sama dan waktu yang sama. Persoalannya sebenarnya apa yang telah kita perbuat terhadap waktu tersebut.

Peristiwa demi peristiwa pun kita jalani, suka dan duka. Amal yang baik pernah kita kerjakan, demikian pula amal yang kurang baik pun pernah kita lakukan. Ibarat sinetron, ada kalanya kita mendapatkan peran yang baik; pada kesempatan yang lain , kita juga pernah kebagian peran yang antagonis. Begitulah Kita akan tetap bermain di panggung sandiwara kehidupan ini, sampai saatnya sudah tak diberikan peran lagi oleh Sang Sutradara. Akan tetapi apapun peran kita, tidak ada satu pun yang akan terlepas dari Pengawasan-Nya.

Dalam salah satu lirik lagunya Opick mengungkapkan perjalanan waktu yang telah berlalu yang tak mungkin lepas dari pengawasan-Nya “Yang Maha Melihat”:

Seiring waktu berlalu
Tangis tawa di nafasku
Hitam putih di hidupku
Jalan ditakdirku

Tiada satu tersembunyi
Tiada satu yang terlupa
Segala apa yang terjadi
Engkaulah saksinya

Kau yang Maha Mendengar
Kau Yang Maha Melihat
Kau Yang Maha Pemaaf
PadaMu hati bertobat

Kau yang Maha Pengasih
Kau Yang Maha Penyayang
Kau Yang Maha Pelindung
PadaMu semua bergantung

Yang dicintai kan pergi
Yang didamba kan hilang
Hidup kan terus berjalan
Meski penuh dengan tangisan

Andai bisa ku mengulang
waktu hilang dan terbuang
Andai bisa ku kembali
hapus semua pedih

Andai mungkin aku bisa
kembali ulang segalanya
Tapi hidup takkan bisa
Meski dengan air mata…

Maka, selama masih diberikan kesempatan untuk mengambil peran dalam hidup ini, masih terbuka lebar kesempatan untuk meraih apa saja yang menjadi cita-cita kita. Tapi, sayangnya kita hanya berkuajiban menyempurnakan ikhtiar, sedangkan Allah adalah Sang Penentu peran apa yang Dia kehendaki terhadap hamba-Nya.

Maka kita diperintahkan untuk senantiasa memperbanyak do’a, dalam setiap saat dan kesempatan. Mudah-mudahan Allah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya. Dalam surat Al Ashr (1-3) Allah SWT berfirman:“ Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”

Surat Al Ashr tadi secara keseluruhan berpesan agar seseorang tidak hanya mengandalkan iman saja, melainkan juga amal salehnya. Bahkan amal saleh dengan iman pun belum cukup, karena masih membutuhkan ilmu. Demikian pula amal saleh dan ilmu saja belumlah memadai, kalau tidak ada iman. Oleh karenanya, hendaknya kita tingkatkan ketiganya. Disamping itu, kita agar tabah dan sabar dalam menjalani hidup ini.

Wallahu a’lam bi shawab

Saya Mengucapkan:
Selamat Tahun Baru 1432 H,
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan Taufiq dan Hidayah-Nya, diberikan tetap iman dan Islam, diberikan rizki yang halal dan berkah, diberikan umur panjang untuk taat beribadah, serta diberikan akhir kehidupan dengan husnul khotimah.


Magelang, 1 Muharram 1432 H