Jumat, 29 April 2011

Memakmurkan Masjid


Membangun Masjid dan Membangun Ibadah
Posting by: Mas Kus

ADA anggapan sebagian orang yang mengatakan bahwa tugas memakmurkan masjid adalah tugasnya “pak Kaum” atau takmir masjid. Pendapat demikian kiranya bisa dimaklumi, mengingat bahwa secara umum masyarakat Muslim pada umumnya tidak mungkin akan sempat dan mampu mengurus langsung masjid mereka. Sementara mereka telah mempercayakan kepada pak kaum atau Takmir Masjid, sehingga seolah-olah segala hal ikhwal kemasjidan diserahkan sepenuhnya kepada mereka.

Memakmurkan masjid artinya bagaimana kita mengerjakan hal-hal yang semestinya untuk masjid , seperti memberikan hamparan atau permadani, membersihkannya, memberikan penerangan, mengurus bangunannya, dan mendatanginya secara rutin untuk menjalankan ketaatan kepada Allah Swt. Pendek kata segala hal yang menyangkut masjid, baik pembangunan , renovasi fisik atau pemeliharaan fisiknya sebagaimana pernah dilakukan oleh Sahabat Utsman ra. Sewaktu beliau (Khalifah Utsman ra) bermaksud merenovasi masjid Rasul dengan memakai batu ukir, mencatnya memberinya atap kayu saj, dan meletakkan tiang-tiangnya pada fondasi batu, pada tahun tiga puluh Hijriyah, maka orang-orang memperbincangkan hal ini, lalu Khalifah Utsman menyebutkan hadist ini yang artinya kurang lebih: “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:”Barang siapa yang membangun masjid dengan mengharapkan pahala Allah, niscaya Allah akan membangunkan hal yang semisal untuknya di dalam surga.” Di dalam riwayat yang lain disebutkan, “ Sebuah gedung di dalam surga.” (Riwayat Khamsah kecuali Abu Daud)

Maksudnya, barang siapa yang membangun Masjid, baik dengan tangannya, dengan hartanya, dengan kedua-duanya, dengan perintahnya, atau melalui anjurannya, kesemuanya itu dikategorikan sebagai pembangunan masjid. Dan pembangunan tesebut dikerjakan dengan mengharapkan pahala Allah, atau dengan kata lain karena demi Allah Swt, maka ia akan mendapat pahala tersebut. Adapun apabila karena ria dan pamer maka orang yang bersangkutan tidak akan mendapat pahala.

Disamping urusan pembangunan fisik masjid tersebut, juga yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana memajukan kegiatan ibadah pada umumnya. Oleh karena demikian kompleksnya tugas yang diamanahkan kepada pengelola masjid, maka sebenarnya memakmurkan masjid bukan hanya tugas fungsional Takmir masjid lewat petugas kebersihan atau seksi tertentu saja, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh kaum Muslimin. Lebih–lebih berkaitan dengan bagaimana kemajuan kegiatan ibadahnya , akan sangat diharapkan partisipasi aktif dan kepedulian seluruh komponen masyarakat muslim dalam upaya memakmurkan masjid ini.

Persoalan yang sering kita hadapi, justru masjid telah kita miliki dengan bangunan megah dan fasilitas yang representatif, akan tetapi ternyata sepi dari kegiatan keagamaan pada umumnya; seperti taklim, shalat lima waktu berjamaah, majlis dzikir, dsb.

Orang-orang yang memakmurkan masjid Allah swt, memang termasuk orang yang beruntung , karena disebutkan Allah swt :”Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah; merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah: 18)

Demikian pula Rasulullah Saw menyebutkan mereka yang memakmurkan masjidnya Allah swt (HR Khamsah kecuali Abu daud), termasuk salah satu dari 7 orang yang yang mendapat naungan Allah kelak di hari yang tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu atl : lelaki yang hatinya terpaut kepada Masjid. Dikatakan demikian karena kecintaannya yang sangat kepada masjid. Ia sering datang dan pergi ke mesjid untuk beribadah kepada Allah. Hal ini merupakan pertanda kesempurnaan iman dan kecintaannya kepada Allah swt.

Begitulah, pintu masjid-masjid Allah masih terbuka. Menunggu kehadiran dan uluran tangan memakmurkannya. Sebelum terlambat, pintu-pintu itu tertutup untuk selamanya.

Wallahu a’lam bi shawab.
(foto: Doc.Pry/Beduk Masjid LebakBulus/2011/4)

Selasa, 26 April 2011

Tiga Macam Teman


Temanku- Sahabatku (2)
Setiap Orang Pasti Memiliki Teman Hingga...
Posting by : Mas Kus

SEBAGAI bagian dari lingkungan pergaulan, keberadaan seorang teman ikut mewarnai kehidupan sehari-hari. Tidak terelakkan bahwa karena keberadaannya seorang teman sering dapat mempengaruhi terhadap hal-hal yang baik, misalnya menuju ketaqwaan dan keluhuran jiwa. Atau bahkan sebaliknya juga dapat mempengaruhi ke hal-hal yang negatif. Maka, teman ada yang baik dan ada pula yang kurang baik.

Banyak ahli hikmah memberikan petuah berkaitan dengan berteman, lihatlah siapa temanmu. Rasulullah Saw bersabda:”Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau membeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harumnya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium bau yang tidak sedap.” (HR. Bukhari)

Maka menurut Bakr bin Abdullah Abu Zaid, teman itu ada bermacam-macam; Ada teman yang bisa memberikan manfaat; ada teman yang bisa memberikan kesenangan; ada teman yang bisa memberikan keutamaan. Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Sedangkan yang ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Terjadi interaksi timbal balik yang disebabkan karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Dan pertemanan demikian yang sebenarnya didambakan.

Namun demikian mendapatkan teman, atau lebih tepat dikatakan ‘sahabat’ seperti di atas tidaklah mudah. Berteman dalam suasana duka nestapa, yang banyak membutuhkan uluran tangan dan kebesaran jiwa. Lain halnya, apabila mencari teman untuk bersuka ria , tentu akan relatif mudah mendapatkannya.

Barangkali ada benarnya apa kata Bang Rhoma Irama :

Mencari teman memang mudah
pabila untuk teman suka
Mencari teman tidak mudah
pabila untuk teman duka

Banyak teman di meja makan
Teman waktu kita jaya
Tetapi di pintu penjara
Disana teman tiada

Sesungguhnya nilai teman yang saling setia
Lebih dari saudara
Itu hanya mungkin bila di antara kita
Seiman seagama
Seumpama tubuh ada yang terluka sakitlah semua

Namun demikian, setiap orang pasti memiliki teman yang menemaninya selama hidup di dunia ini hingga kematian menjemputnya bahkan sampai di alam akhirat.

Rasulullah Saw bersabda:” Yang akan menjadi teman seluruh anak Adam itu ada tiga: Pertama, teman yang menyertai hanya sampai sekarat; kedua, teman yang menyertai hanya sampai kuburan ; dan yang ketiga, teman yang menyertai sampai alam mahsyar. Adapun teman yang sampai sekarat , yaitu harta; yang sampai kuburan, yaitu saudara atau kerabat; sementara yang ketiga yang menyertai sampai alam akhirat, yaitu amal.” (HR. Muslim)

Demikianlah hidup ini harus memiliki teman dan rasanya sungguh berat hidup tanpa seorang teman. Maka berbahagialah kita memiliki teman-teman yang baik.

Wallahu a’lam bi shawab.

Senin, 25 April 2011

Temanku-Sahabatku,...(1)


Kau Memang Temanku Sejati
Posting by: Mas Kus

DIA memang bukanlah seorang saudara, juga bukan tetangga dekat, melainkan hanya seorang teman. Tetapi dia selalu hadir membantu ketika aku berada dalam kesulitan; bahkan tetap bersedia membantuku dengan ikhlas ketika orang lain tidak bisa memberikan apa-apa .

Begitulah ceritanya, ternyata dia teman, sahabat , bahkan melebihi saudara atau tetangga dekatku. Heran ya, dia memang seorang yang berbudiluhur melebihi tetangga dekat, sebagaimana perilaku yang disampaikan oleh Nabi Saw. Al Faqih, dari Abu Qasim Abdirrahman bin Muhammad dengan sanadnya dari Hasan Bashry ,katanya:”Rasul Saw ditanya,”Apakah hak tetangga kepada tetangga lainnya? Beliau menjawab:”Jika berhutang kau beri hutangnya,undangannya kau penuhi, jika sakit kau ziarahi, jikaminta tolong kau beri pertolongan, jika kena musibah kau hibur, jika mendapat keuntungan kau ucapkan selamat, jika mati, kau antar jenazahnya, jika bepergian kau jaga rumah dan anak-anaknya, janganlah engkau menyakitinya dengan bau masakan, kecuali jika kau beri dari masakan itu kepadanya.”
Demikian akhlaq mulia dari seorang teman sejati, dan seandainya masih belum juga sempurna, mungkin kita bisa mengukur kadar pertemanan kita, dengan meniru atau mirip dikit dari 12 ciri seorang sahabat sejati menurut Imam al-Ghazali sebagai berikut:

1. Jika engkau berbuat baik kepadanya, maka ia juga akan melindungimu;
2. Jika engkau merapatkan ikatan persahabatan dengannya,maka ia akan membalas balik persahabatanmu itu;
3. Jika engkau memerlukan pertolongan darinya, maka ia akan berupaya membantu sesuai dengan kemampuannya;
4. Jika engkau menawarkan berbuat baik kepadanya,maka ia akan menyambut dengan baik;
5. Jika ia memperoleh sesuatu kebaikan atau bantuan darimu,maka ia akan menghargai kebaikan itu;
6. Jika ia melihat sesuatu yang tidak baik darimu,maka ia akan berupaya menutupinya;
7. Jika engkau meminta sesuatu bantuan darinya, maka ia akan mengusahakannya dengan sungguh-sungguh;
8. Jika engkau berdiam diri (karena malu untuk meminta),maka ia akan menanyakan kesulitan yang kamu hadapi;
9. Jika bencana datang menimpa dirimu, maka ia akan berbuat sesuatu untuk meringankan kesusahanmu itu;
10. Jika engkau berkata benar kepadanya, niscaya ia akan membenarkanmu;
11. jika engkau merencanakan sesuatu kebaikan,maka dengan senang hati ia akan membantu rencana itu;
12. Jika kamu berdua sedang berbeda pendapat atau berselisih paham, niscaya ia akan lebih senang mengalah untuk menjaga.

Wah, repot memang. Ternyata banyak persyaratan untuk menjadi seorang teman sejati. Itu artinya akuharus kursus dulu menjadi seorang teman yang ...

Wallahu a'lam bi shawab.

Rabu, 20 April 2011

Perputaran Nasib


Berharap Selalu Dalam Kesederhanaan
Posting by: Mas Kus

MISTERI Perjalanan hidup manusia memang kadang sulit diduga. Perputaran nasib seseorang yang berputar bak roda pedati. Begitu tiba-tiba, nasib berbalik 180 derajat, seolah-olah seperti mimpi di siang bolong. Siapa mengira seorang yang dulunya hidup melarat sekarang menjadi konglomerat; yang dulunya orang biasa tak punya apa-apa, kini menjadi kaya raya dan berkuasa.

Sehingga kondisi yang demikian tidak jarang membuat orang menjadi lupa diri. Seperti yang pernah dialami seorang tentara Hajaj yang berpangkat Kapten, namanya Muhallab Abi Sufrah. Dia berjalan begitu sombongnya mengenakan pakaian sutra. Istilah gaulnya, “somsek habis.”, Kemudian, di tengah perjalanan kebetulan ada orang yang mengingatkannya, namanya Mutharrif Abdullah Syauhairy. Katanya:”Hai, Kapten! Berjalanmu dimarahi Allah dan Rasul-Nya?” Kapten pun menjawab,”Kau belum kenal, siapa aku ini?” Jawaban pendek yang mengandung kesombongan ini, dijawab senada oleh Muhallab:”Aku sudah lama mengenalmu, yaitu sperma yang sangat keji asalmu, dan akhir hayatmu bangkai yang keji basin, dan selama ini yang kau bawa dalam perutmu adalah kotoran bau…!” Maka dengan jawaban seperti itu, ternyata menyadarkan sang Kapten sehingga dapat merubah sikap hidupnya menjadi seorang yang rendah hati.

Begitulah dunia, beraneka warna. Sebagai bagian dari proses pembelajaran, kiranya bisa dimaklumi bila pernah berbuat yang tidak sepatutnya. Akan tetapi, agama mengajarkan agar orang tetap rendah hati (tawadlu’) dalam kondisi apa pun, apalagi dalam situasi yang serba pas-pasan

Sahabat Rasulullah Saw dapat memberikan gambaran bagaimana perubahan status mereka , tidak menjadikannya bersikap sombong, tetapi tetap rendah hati. Dalam salah satu Hadist diceritakan bahwa Cholid bin Umar Al-‘Adawy berkata: Ketika Utbah bin Chazwan menjabat gubernur Basrah, pada suatu hari ia berkhotbah, dan setelah memuji syukur kepada Allah ia berkata: Amma ba’du, maka sesungguhnya dunia ini telah mengingatkan kepadamu akan habis dan rusak, dan berjalan terus dengan cepat, dan tiada sisa daripadanya kecuali sebagai sisa minuman yang dalam corong (cerek) yang dituangkan oleh yang punya. Dan kamu bakal kembali dari padanya ke tempat yang tiada habisnya, maka kembalilah dengan sebaik-baik bekal yang ada padamu, karena telah dikabarkan bahwa, kalau sebuah batu dilemparkan ke dalam Jahannam, maka menyelam hingga tujuh puluh tahun belum sampai ke dasarnya, demi Allah neraka itu akan dipenuhi. Apakah kamu heran. Juga dikabarkan kepada kami bahwa antara dua ambang pintu surga seluas perjalanan empat puluh tahun, tetapi akan terjadi pada suatu hari ia sesak berjejalan orang. Dahulu ketika kami masih bertujuh dari tujuh orang bersama Rasulullah saw tidak mendapat makanan kecuali daun-daun pohon, sehingga luka-luka bibir kami, dan saya membelah selembar kain panas untuk kami pakai sebagai sarung saya dengan Sa’ad bin Malik separuh-separuh kami berdua. Tetapi kini tiada seorang diantara kami melainkan sudah menjadi gubernur di suatu daerah. Dan saya berlindung kepada Allah, jangan sampai saya dalam pandangan diriku besar padahal dalam pandangan Allah kecil. (HR Muslim)

Demikianlah sebuah renungan dan harapan agar hidup dalam kesederhaanaan, dan berlindung kepada Allah, agar jangan sampai dalam pandangan diri ini besar padahal dalam pandangan Allah kecil.

Wallahu a’lam bi shawab.
(Pustaka: Tanbihul Ghafilin, Riadus Shalihin)

Minggu, 17 April 2011

Pertanyaan Untuk Yang Bujangan


Bila Sudah Mampu Segeralah…
Posting by: Mas Kus

PERTANYAAN itu memang tergolong tidak ilmiah, namun demikian banyak yang kesulitan memberikan jawaban yang ‘pas’. Misalnya, ketika menghadiri sebuah pertemuan keluarga di suatu tempat. Sebagaimana kebiasaan saudara atau teman yang lama tidak ketemu, membuka prolog dengan menanyakan perihal keluarga, “Kok, nggak sama Istri atau anak, mas?”. Yang paling membingungkan ternyata yang ditanya sampai sekarang belum juga ketemu jodoh. Padahal sudah, ‘, naik gunung-turun gunung, menyusuri lembah dan ngarai, muter-muter, sana-sini, kok belum ketemu juga. Banyak yang ditimbang-timbang, kali ya? Entahlah !

Dalam hati ia bergumam ,”Emangnya nggak ada pertanyaan lain apa ya?”. Maka, sambil tersipu malu, memberikan jawaban diplomatis,”Belum, Om. Baru Pedekate.” Katanya sambil berlalu, cepat mencari posisi menyelamatkan diri agar tidak diberondong pertanyaan lagi.

Tapi, apapun alasan dan dalih yang disampaikan , tetap saja harus menghadapi kenyataan sebagai seorang bujangan . Pertanyaan-pertanyaan itu secara jujur nampaknya harus direnungkan dan dicarikan solusi. Bukan hanya sekedar mencari alternatif untuk menghindar dari pembicaraan dan pertanyaan.

Kondisi demikian tadi, juga pernah terjadi di Zaman Rasulullah Saw. Seorang laki-laki datang menghadap Nabi Saw. Laki-laki itu bernama Ukaf. Nabi Saw bertanya kepadanya:”Hai Ukaf, apakah engkau sudah mempunyai istri?” Ukaf menjawab,”Belum”. Beliau bertanya lagi:”Apakah engkau mempunyai budak perempuan?” Ukaf menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi:”Apakah engkau orang kaya yang baik?” Ukaf menjawab,”Saya adalah orang kaya yang baik”. Beliau menegaskan :”Engkau termasuk temannya setan. Seandainya engkau seorang Nasrani , maka engkau adalah salah seorang pendeta-pendeta mereka. Sesungguhnya sebagian dari sunahku adalah nikah, maka sejelek-jeleknya orang mati adalah yang mati membujang.” (HR. Ahmad)

Dalam Hadist lain, Rasulullah Saw bersabda:”Miskin, miskin, miskin, laki-laki yang tidak mempunyai istri. Ditanyakan kepada beliau:”Ya Rasulullah, bagaimana kalau dia mempunyai banyak harta?. Nabi Saw menjawab:”Meskipun dia mempunyai banyak harta’. Nabi Saw. melanjutkan sabdanya: ‘Miskin, miskin, miskin, seorang wanita yang tidak mempunyai suami’. Ditanyakan kepada beliau: “Ya Rasulullah, bagaimana kalau dia mempunyai banyak harta?’ Nabi saw. menjawab:’ Meskipun dia mempunyai banyak harta’.”

Rasulullah Saw juga bersabda:”Barangsiaa menikah karena taat kepada Allah, maka Allah akan mencukupi dan memelihara dirinya.”

Dalam hadist yang lain Rasulullah Saw bersabda: ”Keutamaan orang yang berkeluarga atas orang yang bujangan seperti halnya keutamaan orang yang berjuang atas orang yang berdiam diri. Salat dua rakaat yang dilakukan oleh orang yang sudah berkeluarga lebih baik daripada delapan puluh dua rakaat salat yang dilakukan oleh orang bujangan.” (Al Hadist)

Demikian tadi anjuran bagi para bujang, untuk segera menikah agar lebih sempurna ibadahnya, serta dapat memelihara dirinya dari maksiat dan tentu saja akan dapat memberikan jawaban akurat dan memuaskan ,”Insya Allah, esok pagi saya akan menikah, dan Anda harus datang ya?”

Wallahu a’lam bi shawab.
(Posting by: Mas Kus, Sumber: Terjemah Qurratul Uyun)

Selasa, 12 April 2011

Mengajarkan Anak Selalu Bersyukur


Membekali Anak Dengan Aqidah (2)
Mengajarkan Bersyukur
Posting by: Mas Kus

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu, sehingga aku lebih ia cintai daripada ayah dan anaknya serta manusia semuanya.” (HR. Bukhari, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah)

MEMANG memberikan bekal pemahaman aqidah sebagai fondasi iman kepada anak, tidaklah bisa dibilang ‘ringan’. Setelah menanamkan ke-tauhid-an kepada anak-anak , yang diantaranya dengan memberikan pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah swt, maka pemahaman akidah berikutnya yang harus ditanamkan kepada anak adalah senantiasa bersyukur kepada Allah Swt atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya kepada kita. Rasa syukur kepada Allah hendaknya lebih didahulukan dari rasa syukur kepada kedua orangtua, sekalipun kedua orangtua sangat berjasa dalam memelihara dalam mengasuh kita sejak dalam kandungan.
Allah Swt berfirman,"Dan telah Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah tempat kembali." (QS. Luqman 14)

Demikian pula rasa syukur atau terimakasih kita kepada manusia pada umumnya. Secara keseluruhan rasa syukur kepada mereka semua tidak boleh mendahului atau melebihi syukur kita kepada Allah Swt. Sebab, tempat kembali kita semua adalah kepada Allah Swt.

Upaya menanamkan rasa syukur kepada Allah Swt bisa dilakukan dengan mengajak anak mengamati, merasakan, memikirkan karunia Allah yang diberikan kepada si Anak, keluarganya, serta lingkungan sekitarnya.

Selanjutnya adalah menanamkan pemahaman tentang sifat-sifat Allah. Diantaranya adalah Allah Mahakaya, Maha Terpuji, Maha Tahu, Maha Halus dsb. Demikian pula sifat-sifat lainnya yang tergolong dalam asma’ul husna. Keyakinan terhadap- sifat-sifat Allah akan menjadikan anak memiliki dorongan yang kuat untuk mentaati segala perintah Allah.

Kekuatan aqidah merupakan landasan untuk mentaati semua perintah Allah berupa taklif hukum yang harus dijalankan, sebagai konsekuensi keimanan. Oleh karena itu, diperlukan motivasi yang kuat dan sungguh-sungguh , serta kreativitas yang tinggi dari para orangtua untuk menanamkan aqidah yang kuat kepada anak.

Wallahu a’lam bi shawab.

Senin, 11 April 2011

Membekali Anak Dengan Aqidah


Sayangilah Aku (2)
Menanamkan Aqidah Kepada Anak
Posting by : Mas Kus

ANAK merupakan amanah dari Allah Swt yang semestinya dibina dengan penuh kasih sayang dan diupayakan sungguh-sungguh agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa dan Negara serta dapat menjadi pelipur lara orangtua , penenang hati ayah dan bunda serta kebanggaan keluarga.

Semua harapan tersebut , tentu hanya akan menjadi sebuah harapan belaka yang sulit terwujud , tanpa disertai usaha orangtua untuk memberikan bimbingan atau pendidikan yag memadai kepada anak-anaknya. Salah satu pembekalan awal dan dasar yang sering kali terabaikan adalah menanamkan aqidah sebagai fondasi iman kepada anak. Diantaranya adalah pemahaman agar tidak mempersekutukan Allah dengan apapun, karena perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan merupakan tindak kedzaliman yang nyata, bahkan termasuk dosa besar yang kelak pelakunya akan diazab oleh Allah Swt di hari kiamat. Luqman memberikan contoh bagaimana mengajarkan kepada putranya ,” Ya bunayya laa tusyrik billah, innasy-syirka ladzulmun ‘adziim,” ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah dengan apapun, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.” Imam ash-Shabuni menafsirkan Surat Luqman ayat 13 tersebut, “Jadilah orang yang berakal; jangan mempersekutukan Allah dengan apapun, apakah itu manusia, patung ataupun anak. Dan perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kedzaliman yang nyata. Karena itu siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk dalam golongan manusia yang paling bodoh . Sebab perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dan hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat dzalim; bahkan pantas disetarakan dengan binatang.

Upaya menanamkan ke-tauhidan kepada anak-anak, hendaknya dilakukan sejak mereka masih anak-anak. Bahkan sesaat ketika sang bayi baru pertama kali mengenal dunia ini pun hendaknya sudah dikenalkan kalimat Tauhid. Rasulullah Saw pernah bersabda, “Bacakanlah kalimat pertama kepada anak-anak kalian kalimat La ilaaha illa Allah." (HR al-Hakim, diriwayatkan oleh al-Hakim dari Ibnu Abbas ra.)
Dalam Hadits yang lain yang diriwayatkan Ibnu Sinni Rasulullah Saw pernah bersabda,” Barangsiapa dikaruniai anak, kemudian melantunkan suara adzan pada telinga kanan dan iqamah di telinga kirinya maka selamatlah ia dari bisikan jin.”

Adapun metode untuk menyampaikannya, kiranya dapat dilakukan dengan berbagai cara dan wasilah, sesuai dengan tahapan perkembangannya, misalnya dengan mendengarkan, mengucapkankan, menghapalkan kalimat-kalimat tauhid, ayat-ayat Qur’an serta hadits yang terkait, kemudian memahamkan maknanya serta menjelaskan berbagai jenis perbuatan syirik yang pernah dilakukan manusia, khususnya yang terjadi saat ini; maupun menceritakan berbagai kisah umat-umat terdahulu yang menerima adzab dari Allah karena perbuatan syirik mereka, dsb.

Penggunaan cara dan wasilah yang dipilih , tentu akan sangat efektif apabila disukai anak-anak , agar mereka tidak merasa terpaksa (nyaman), dalam menerima pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu, menanamkan tauhid kepada anak tidak harus dalam suasana belajar , bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Pada saat anak bermain, makan, ketika mau tidur dsb. Pendek kata, berkaitan dengan metode ini sangat fleksibel, sangat dimungkinkan berbeda dengan metode pembelajaran yang diterapkan kepada orangtua dulu, sesuai sabda Rasulullah Saw, “ Allimuu aulaadakum ghairomaa ‘ullimtun fainnahum khuliquu lizamanin ghairi zamaanikum. (HR. Bhukari) , Didiklah anak-anakmu dengan metode belajar yang berbeda dengan belajar yang diajarkan kepadamu , karena anak-anakmu itu dijadikan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu.

Bersambung...

Wallahu a'lam bi shawab.

Minggu, 10 April 2011

Sayangilah Aku


Sayangilah Anak-anak
Adakah Waktu Untuk Mereka?
Posting by: Mas Kus

RASULULLAH Saw. mengajarkan kepada kita agar berlaku lemah lembut dan kasih sayang terhadap anak-anak; dan betapa besarnya rasa kasih sayang beliau Nabi saw terhadap anak-anak. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap anak-anak atau hamba-hamba Allah pada umumnya, maka Allah tidak akan menyayanginya.

Abu Hurairah ra menceritakan sebuah hadist, “Rasulullah saw. mencium Al-Hasan ibnu Ali, sedangkan Al Aqra’ ibnu Haabis At-Taimi duduk di hadapan beliau, lalu Al-Aqra’ berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, tetapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka.” Rasulullah saw, memandang kepadanya, lalu bersabda,”Barang siapa yang tidak mempunyai rasa belas kasihan, maka ia tidak akan dibelaskasihani.” (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Turmudzi)

Pada Hadist lain diceritakan oleh Usamah ibnu Zaid r.a , “ Rasulullah saw pernah mengambilku, lalu memangku diriku di atas salah satu pahanya, dan beliau pun memangku Al-Hasan di atas paha yang lainnya. Kemudian Nabi saw. Mendekap kami berdua dan berdoa, “Ya Allah, sayangilah keduanya karena sesungguhnya aku menyayangi keduanya.” (Riwayat Bukhari)

Pada kondisi zaman yang ‘globlalisme’ seperti era ini, nampaknya sangat mungkin perhatian dan kasih sayang orangtua terhadap anak, tergeser oleh kesibukannya mencari nafkah atau aktivitas yang lain. Mulai pukul 5 pagi berangkat kerja dan pulang ke rumah hingga sore hari, bahkan hingga larut malam. Dengan demikian, mereka tidak sempat berkomunikasi dengan anak-anak, karena ketika berangkat kerja anak-anak masih belum bangun, sementara itu ketika orangtua pulang kerja, anak-anak sudah tertidur , di temani Televisi, atau kecapek-an karena seharian main game. Atau bisa jadi, ketika ada waktu luang masing-masing mempunyai acara sendiri-sendiri. Wal hasil, endingnya sama ‘tak ada waktu untuk berkomunikasi dan mencurahkan kasih sayang’. Akibatnya, sisi negatif dari sebuah degradasi tanggungjawab orangtua akan memunculkan berbagai persoalan serius pada anak; mulai dari yang malas belajar, berani pada orangtua, serta kenakalan lainnya.

Mencermati informasi yang disampaikan Ketua Komnas Perlindungan Anak, yang dirilis pada BeritaJakarta.Com 28-03-2011 14.50 , bahwa terjadinya kasus kekerasan seks terhadap anak-anak atau pelajar lebih disebabkan, adanya degradasi moral. Hal ini terjadi bisa disebabkan oleh perilaku korbannya yang mengundang atau memicu terjadinya kekerasan seks. Selain itu, karena rendahnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama yang juga menjadi pemicunya. Pada sisi yang lain telah terjadi sebuah degradasi tanggung jawab sebagai orangtua dan guru. Namun menurutnya, memang itu semua terjadi didorong faktor kemiskinan. Mungkinkah ini juga memiliki keterkaitan dengan degradasi tanggungjawab orangtua atau kurangnya rasa kasih sayang orangtua terhadap anak-anak. Kendatipun masih banyak faktor pemicu lain yang memperburuk keadaan, sebagai contoh di Jakarta pada tahun 2010, secara keseluruhan terjadi kekerasan seksual mencapai 2.235 kasus, dimana 68,2 persen di antaranya menimpa anak-anak. Sedangkan pelakunya, orang-orang dekat, mulai dari guru, masyarakat hingga temannya sendiri.

Salah Siapa?
Bicara siapa yang salah, biasanya akan lebih mudah mencari ‘kambing hitam’ ketimbang mencarikan solusi dari sebuah permasalahan.

Ada sebuah kisah, seseorang mengadu kepada Umar katanya:”Anakku ini berani kepadaku.” Kemudian Umar pun bertanya kepada anak tersebut,”Kau tidak takut kepada Allah? Kau berani kepada ayahmu, karena tidak melakukan kewajibanmu memenuhi hak ayahmu.” Sang Anak nampaknya tidak mau terima dipersalahkan begitu saja. Katanya melakukan pembelaan, “Hai Amirul Mukminin, apakah orangtua tidak punya kewajiban, memenuhi hak anak?” Jawabnya, “Ada, yaitu : 1. Memilihkan ibu yang baik, jangan sampai terhina akibat ibunya. 2. Memilihkan nama baik, 3. Mendidik dengan Al-Qur’an (agama Islam)”. Kemudian sang anak berkata:”Demi Allah, dia tidak memilihkan ibu yang baik, dia wanita yang dibeli 400 dirham, itulah ibuku, lalu aku diberi nama “kelelawar jantan”, kemudian dia mengabaikan pendidikan Islam bagiku, sampai satu ayat pun aku tidak pernah diajari olehnya. Maka Umar menoleh kepada Ayahnya seraya berkata : “Kau telah durhaka kepada anakmu sebelum ia berani kepadamu, pergilah kau.

Bersambung…

Wallahu a’lam bi shawab.
(Sumber :Mahkota Pokok-Pokok Hadist, Tanbihul Ghafilin)

Kamis, 07 April 2011

Nasihat Kejujuran


Mutiara Hikmah
Anakku Berusahalah Menjadi Orang Yang Jujur
Posting by : Mas Kus

MENANAMKAN nilai-nilai akhlaqul karimah kepada anak, memang bukan pekerjaan yang mudah. Demikian pula halnya, apabila ingin mengajarkan kepada anak- anak agar berlaku jujur. Rasulullah Saw pernah bersabda yang kaitannya dengan dorongan untuk melakukan kejujuran serta menjauhi kedustaan: ”Hendaklah kalian selalu jujur, karena kejujuran bisa menunjukkan kepada kebagusan dan kebagusan menunjukkan ke arah surga. Seorang laki-laki senantiasa jujur dan mencari kejujuran sehingga ia tulis disisi Allah sebagai orang yang suka kejujuran. Dan jauhilah kebohongan, karena kebohongan dapat menunjukkan kemaksiatan dan kemaksiatan menunjukkan ke arah neraka. Seorang laki-laki senantiasa bohong dan mencari kebohongan sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang suka kebohongan.” (HR Bukhari dan Muslim dari sahabat ibnu Mas’ud ra)

Syaikh Muhammad Syakir , seorang Ulama’ dari iskandariyah yang cukup masyhur dengan karyanya :”Washoyal Aba’lil Abna" ( Nasihat orang tua kepada anak) beliau mengatakan,
” Yaa bunayya akhrish ‘alaa antakuuna shodiqon fii kulli maa tukadditsu bihi ghoiroka, hirshoka ‘alaa nafsika wamaa lika, fainnal kadziba syarrunnaqooishi wal mu’aayib"

”Wahai anakku! Berusahalah menjadi orang jujur dalam semua yang engkau katakan kepada orang lain, baik pada dirimu sendiri maupun pada hartamu, karena berbohong adalah sifat kekurangan yang buruk dan a’ib (cacad)’

Lebih jauh beliau memberikan nasihatnya.
“Wahai anakku! Janganlah engkau terkenal bohong di hadapan kawan-kawan dan guru-gurumu, maka akibatnya seorang pun tidak akan membenarkan apa yang engkau katakan sekalipun benar.

“Wahai anakku!
Jika engkau melakukan perkara yang menyebabkan engkau mendapatkan tindakan dari gurumu, janganlah engkau berbohong kepadanya ketika engkau ditanya dan jangan berusaha menyandarkan kesalahan kepada salah seorang kawanmu, kalau telah terbukti engkau berbohong, maka engkau berhak mendapatkan tindakan berlipat ganda; tindakan karena kesalahan dan tindakan karena kebohongan. Jauh sekali tindakan ini akan dapat menyelamatkanmu dari tindakan Tuhanmu yang mengetahui apa yang engkau simpan dalam hatimu.

“Wahai anakku!
Sesungguhnya allah Ta’ala telah melaknat orang-orang yang bohong di dalam Kitab-Nya yang mulia. Maka apakah engkau rela dilaknat di sisi TuhanMu, sedangkan engkau termasuk para pelajar ilmu-ilmu agama.

“Wahai anakku!
Jika engkau berbohong sekali dan engkau selamat, dimana tidak ada seorangpun yang menyaksikanmu, maka kemungkinan kecil engkau bisa selamat pada kali yang lain, jika telah nyata kebohonganmu dengan saksi orang yang melihatmu.

“Wahai anakku!
Apabila engkau tidak takut kepada manusia, jika engkau berbohong kepada mereka, maka apakah engkau tidak takut kepada Tuhanmu yang mengetahui pengkhianatan (kebohongan) mata dan apa yang tersimpan di hati?

“Wahai anakku!
Jika seseorang berbohong sekali saja, maka akan terulang kembali lisannya untuk berbohong dan dia hampir tidak dapat jujur di dalam pembicaraan dan perkataan. Maka dari itu, jagalah benar-benar untuk berusaha jujur pada apa yang lewat dari lesanmu dan janganlah engkau terjatuh pada kebohongan kecil, walaupun karenanya jiwamu melayang.

Begitulah sebuah nasihat tentang kejujuran, yang memang tidak mudah untuk senantiasa menetapi kejujuran. Karena kejujuran merupakan kunci segala kebaikan dan jalan menuju keridhaan Allah Swt. Sebaliknya, kebohongan kunci segala kejahatan dan jalan menuju kemurkaan Allah swt.

Wallahu a’lam bishawab