Minggu, 01 Agustus 2010

Sebuah Renungan Nyadran

Media berbakti Orangtua

KETIKA menjelang bulan Ramadhan, tepatnya di bulan Ruwah sering kita berkesempatan menikmati suasana “nyadran” di kampung halaman. Sekedar plesir, kuliner ke kampung halaman atau pulang berziarah ke orang tua atau makam leluhur. Konon nyadran berasal dari bahasa Arab, Sadrun artinya dada, maksudnya bersihkan dada (hati) kita dari segala hal yang kurang baik. Ada juga yang mengatakan Sadran berasal dari kata sudra (orang awam), mengandung maksud agar kita dapat menjadi orang yang “merakyat” dapat bergaul semua lapisan masyarakat termasuk para kawula “alit”.

Berbagai makanan simbolik pun diadakan, apem misalnya, konon apem yang sebenarnya berasal dari bahasa arab afwun; maafkan atau excuse me, sehingga menurut lidah Jawa dari pada “ngomong Arab” lebih fasih dikatakan apem. Tidak hanya apem yang kita cicipi, ada kolak dan ketan. Kolak juga berasal dari kata Manca Negara yakni Qola artinya katakanlah. Demikian pula ketan, dari kata khata-a, artinya kesalahan atau khilaf. Maka berbagai rangkaian metaforik dari makanan tadi mengandung pesan katakanlah atau mohonlah maaf atas segala salah atau khilaf. Pesan sederhana yang mengandung makna mendalam, sehingga akan mendorong setiap orang untuk sejenak introspeksi diri (muhasabah). Melihat diri yang dhaif ini, yang seringkali memandang kesalahan orang lain dibandingkan diri sendiri. Ibarat Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, tapi semut di seberang lautan pun kelihatan. Maka sekali lagi, excuse me, my friends.

Nyadran sebagai istilah menurut Mudjahirin Thohir, merupakan ekspresi simbolik :Pertama, leluhur itu asal-muasal geneologis bagi setiap individu (keluarga) yang bersangkutan. Tanpa memahami leluhurnya sama artinya dengan melangkah tanpa pijakan. Kedua, karena keberadaan itu maka anak keturunan tidak melupakan, tetap menjaga hubungan dalam bentuk hubungan simbolik. Ketiga, cara bagaimana memelihara hubungan tadi adalah dengan menziarahi , dan mendoakannya dalam memasuki alam keabadian. Keempat, menziarahi dan dan mendoakan adalah pertanda memperhatikan dan menghormati orang-orang yang telah berjasa dalam hidupnya.

Begitulah banyak pesan mendalam yang sebenarnya ingin dikomunikasikan kepada kita. Setidaknya kita diingatkan untuk menjadi orang yang “memuliakan dan menghormati orangtua , atau para leluhur yang telah berjasa kepada kita”.Jelas dan pasti, lantaran beliau telah berjasa dalam kehidupan ini. Dengan segala susah payah seorang ibu telah mengandung kita selama 9 bulan. Tidur miring susah, tidur terlentang juga repot apalagi tengkurap, lebih susah lagi. Kemudian dengan perjuangan antara hidup dan mati kita pun dilahirkan. Tidak berhenti disini, beliau mengurus kita sampai saat ini, memberikan sebuah cinta yang tulus, cinta yang tak kan pernah tergantikan.

Demikian pula seorang ayah, dia adalah orang yang telah memperjuangkan hidupnya, membanting tulang- memeras keringat untuk memberikan nafkah kepada keluarganya, kepada kita agar keluarganya dapat hidup layak dan nyaman. Lantas kemudian apa yang kita berikan buat mereka? Jangankan mengirimkan uang setiap bulan, berziarah pun terasa berat. Tetapi itu masa lalu, belum sempat kita berbuat baik kepada mereka, belum sempat kita membalas kebaikan mereka. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

Sekali waktu, kita teringat sabda Rasulullah SAW ketika ditanya:”Wahai Rasulullah, apakah aku masih mempunyai kewajiban bakti kepada orang tua yang harus aku kerjakan setelah kematian keduanya?” Beliau bersabda:” Ya, ada, yaitu empat hal; mendoakan keduanya, memintakan ampunan untuk keduanya, melaksanakan janji keduanya, memuliakan teman-teman keduanya, dan menyambung sanak famili di mana engkau tidak mempunyai hubungan kekerabatan kecuali dari jalur keduanya.” (HR Abu Daud).

Kemudian rasa sesal pun bergelayut, tapi apakah itu sebuah solusi? Dan kesempatan masih terbentang lebar, selebar cakrawala. Akankah kita meraihnya dengan ketulusan maaf di hati. Bukalah Maaf-Mu untuk ku, excuse me.

(by : A.Kuspriyanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar