Minggu, 25 Juli 2010

Obat Rindu

Kemana Menemukan Cinta
(Bagian Ke-enam)

CINTA, sekali lagi sebuah kata yang terdiri dari lima huruf yang tidak pernah kering dari resah-gelisah serta haru-biru kerinduan dari anak manusia. Kendatipun berulang-ulang didendangkan lagunya:

Sekian lama aku menunggu, untuk kedatanganmu
Bukankah engkau telah berjanji kita jumpa disini
Datanglah, kedatanganmu kutunggu
Tlah lama, telah lama kumenunggu

Derita hidup yang kualami
Duhai pahit sekali
Pada siapa aku berbagi kalau bukan padamu
Datanglah, kedatanganmu kutunggu
Telah lama, telah lama kumenunggu

Ungkapan kerinduan yang sangat mendalam, juga dituangkan dalam baitnya Imam Syafii, misalnya suatu ketika beliau datang menjenguk rekannya yang sedang sakit, beliau sangat mengasihinya. Nama rekannya itu Muhammad bin Abdul Hakim al-Masri. Beliau berkata:

Di kala kekasih kesayanganku sakit kumerawatnya
Aku sakit karena bimbang kepadanya
Datang kekasih merawatku
Sakitku sembuh karena dapat menatap wajahnya.

Memang kerinduan adalah manifestasi perasaan mendalam, yang bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Pada waktu itu, bahkan ada seorang lelaki yang menemui Imam Syafii menanyakan hal tersebut. Lelaki itu memberikan secarik kertas yang bertulis: Tanyalah Mufti Mekah; Apakah kasih dan rindu itu berdosa? Kemudian Imam Syafi-I pun menulis jawabannya :

Bahwa taqwa kepada Allah akan hilang
Di kala berdampingn dengan hati yang luka

Seorang lelaki yang lain menyampaikan kepada Imam Syafi-I sehelai kertas yang bertulis:

Tanya kepada mufti Mekah dari keturunan suku Hasyim
Seorang telah jatuh cinta apakah obatnya?


Imam Syafii menulis jawaban di bawah bait itu:

Diobati hatinya kemudian dirahasiakan cintanya
Kemudian hendaklah ia bersabar dan khusu’

Tetapi nampaknya, rindu dan cinta tak selalu bisa terobati. Beliau mengungkapkan dalam bait syairnya:

Antara kecelakaan kehidupan ialah kamu mencintai
Seorang yang yang tidak mencintaimu
Ia melarikan diri darimu
Tetapi kamu selalu mengunjunginya

Kerinduan yang tak terobati pun dialami oleh Hamid seorang pemuda sholeh dalam kisah roman-nya Hamka “Di Bawah Lindungan Ka’bah”.

Hamid menjadi anak yatim sejak berumur 4 tahun. Sepeninggal ayahnya, Ibu Hamid berjualan kue dan Hamid yang membantu ibunya menjajakan kue. H.Jafar yang hartawan dan dermawan memungut Hamid untuk disekolahkan bersama-sama putrinya yang berumur 2 tahun lebih muda dari Hamid, namanya Zainab. Begitulah Hamid dan Zainab selalu bersama seperti “abang dan adik”. Setelah tamat dan berijazah Mulo, Zainab tinggal di rumah, masuk pingitan, sedangkan Hamid bersekolah agama di Padang Panjang. Nampaknya perpisahan ini membuat Hamid kesepian, karena diam-diam antara Hamid dan Zainab itu bersemi benih cinta di hatinya.

Malang tak dapat ditolak, H. Jafar meninggal dunia. Maka dengan adanya peristiwa kematian ini membawa perubahan besar pada Hamid. Ia jarang mendatangi Zainab “Sang Kekasih” dan ibunya. Sebelum ibu Hamid meninggal dunia, ia berwasiat agar Hamid melupakan cintanya kepada Zainab, karena antara dia tidak sepadan kedudukannya dalam masyarakat. Mak Asiah, Ibu Zainab minta kepada Hamid untuk membujuk Zainab agar mau kawin dengan kemenakan Almarhum H. Ja’far, dengan maksud agar terjalin keutuhan kekeluargaaan. Betapa remuk-redam dan berat hati Hamid menyampaikan permintaan ibu angkatnya untuk membujuk Zainab “kekasihnya” agar mau kawin dengan orang lain.

Kendatipun berat tugas itu pun dilaksanakannya, namun ternyata Zainab tak berkeinginan untuk kawin dahulu. Sesudah peristiwa itu, Hamid meninggalkan sepucuk surat kepada Zainab, bahwa dia kan pergi dengan tujuan tak menentu. Singkat cerita, dalam perantauannya sampailah ia ke Tanah Suci Mekkah. Di sana bertemulah ia dengan temannya yang bernama Saleh, kawan sekolah di Padang Panjang dahulu. Ratna, isteri Saleh adalah kawan akrab Zainab. Ratna mengirimkan surat kepada suaminya di Mekkah, yang antara lain menceritakan bahwa Zainab jatuh sakit sepeninggal Hamid. Dan dalam surat itu pula diceritakan bahwa Zainab selalu merindukan dan menunggu kedatangan Hamid. Zainab pun berkirim surat kepada Hamid, yang menyatakan bila Hamid tidak segera datang, ia akan meninggal dunia. Karena surat Zainab tadi, Hamid jatuh sakit. Demamnya makin keras, pada waktu ia wukuf di padang Arafah. Dalam keadaan gawat, datang telegram dari istri Saleh, bahwa Zainab meninggal dunia. Mendengar kabar itu, Hamid yang sedang ditandu melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah, ia menitikkan air matanya. Tepat berthawaf mengelilingi Ka’bah ketujuh kalinya ia pun meninggal di bawah Ka’bah dengan senyuman, tanda rela dan sempurna kerinduannya.

Begitulah haru-biru perjalanan cinta dan dalamnya kerinduan Hamid dan Zainab. Betapa hancur hati seorang kekasih yang harus menasihati kekasihnya sendiri agar mau menikah dengan orang lain. Padahal kekasih adalah belahan hatinya. Bagaimana mungkin orang sampai hati menyerahkan belahan hatinya kepada orang lain. Kendatipun Hamid tak tersampaikan cintanya, tetapi ia bahagia karena kekasihnya setia mencintainya hingga akhir hayat. Yang lebih membahagiakan karena ada yang lebih ia cintai di atas segalanya, dan Allah telah mengobati kerinduannya dengan senyum bahagia di bawah Lindungan Ka’bah

Dan apabila ternyata rindu dan resah-gelisah itu pun belum juga terobati, sahabat Ibnu Mas’ud menyarankan “bawalah hatimu untuk mengunjungi tiga tempat, yaitu ketempat orang yang membaca Al Qur’an, engkau baca Al-Qur’an atau engkau dengar baik-baik orang yang membacanya. Atau engkau pergi ke majlis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah SWT. Atau engkau cari waktu dan tempat yang sunyi, disana engkau ber-khalwat beribadah kepada Allah SWT, umpamanya di tengah malam buta di saat orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan salat malam, meminta dan memohon kepada Allah SWT ketenangan jiwa, ketentraman fikiran dan kemurnian hati. Seandainya jiwamu belum juga terobat dengan cara ini , engkau minta kepada Allah agar diber-Nya hati yang lain, sebab hati yang kamu pakai itu bukan lagi hatimu.”.

Wallahu a’lam bi shawab

(A.Kuspriyanto, dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar