Selasa, 01 Juni 2010

Cinta Bukan Cinta?

Kemana Menemukan Cinta
(Bagian Keempat)

MEMANG tidak mudah mejadi ‘Jomblo’. Naksir sana-naksir sini. Naik gunung-turun gunung, muter-muter dari desa ke desa sampai menyusuri lembah dan ngarai belum tentu cocok dengan selera. Kalau ada yang naksir, boleh jadi cinta bertepuk sebelah tangan. Sudah terlanjut ‘ngebet’ cintanya, ternyata Si dia hanya berteman saja. Aduuh… kasihan deh lhu.
Oleh karena itu, agar kita tidak terlalu kecewa,berkut ada beberapa rambu-rambu cinta yang diilhami tulisan L. Kirkendall yang mengisyaratkan adanya perasaan cinta tetapi bukan cinta.

Mendapatkan kesenangan dalam pacaran, disalahtafsirkan sebagai cinta.
Siapa yang tidak senang pacaran? Saat-saat berkencan seringkali menimbulkan rasa senang. Perasaan-perasaan senang sesaat tadi, sering pula dianggap bahwa satu sama lain telah cocok dalam berbagai aspek kehidupan. Padahal sebenarnya belum. Berbagai persoalan misalnya dalam hal keuangan, mengasuh anak dsb. Guna menuju cinta yang matang diperlukan kesepakatan dan kesesuaian dalam banyak hal tersebut.

Rasa bangga disalahtafsirkan sebagai cinta.
Orang pacaran sering kali merasa bangga kalau berhasil mendapatkan cinta dari idola kelompoknya. “Nih gue jagoan tulen, dapet nggaet si cantik yang jadi rebutan. Padahal Gue nggak pake jopo montro – jaran goyang, setan kober. Si Die sudah terkintil-kintil” katanya dengan sangat bangganya. Sebenarnya perasaan demikian belum tentu menunjukkan cinta, akan tetapi hanya rasa puas dalam menundukkan pujaan kelompoknya.

Daya tarik seksual disalahtafsirkan sebagai cinta.
Mata orang sedang pacaran sering kali kurang akurat. Kalau melihat lekuk tubuh yang ‘aduhai’ ,rasa gairah membara dari kontak pisik, akan mebuat bayang-bayang nikmat dalam hidup perkawinan yang akan dijalani.” Alangkah indahnya andaikan aku bisa duduk bersanding denganmu Dinda, amboiku, yang paling bahenol”, katanya. Padahal perasaan demikian belum tentu menunjukkan cinta, akan tetapi hanya godaan nafsu birahi semata.

Keinginan membrontak disalahtafsirkan sebagai cinta.
Para muda yang sedang jatuh cinta, tidak jarang yang dalam masa transisi nilai-nilai mengalami hambatan dari lingkungannya, terutama orang tua. Mereka merasa sangat dibatasi ruang geraknya dalam berinteraksi. Sehingga sebenarnya ia ingin berontak untuk mendapatkan otonomi dan kebebasan. Dan nampaknya dalam berpacaran menemukan pasangan yang dirasanya dapat menjadi teman hidup untuk mencapai kebebasannya dari kekangan orangtua sehingga ia ingin cepat-cepat kawin. Perasaan demikian disangkanya mereka telah sama-sama jatuh cinta, padahal hanyalah dorongan untuk memberontak.

Nafsu ingin memiliki disalahtafsirkan sebagai cinta.
Sesungguhnya nafsu ingin memiliki atau cemburu adalah pengejawantahan nafsu menguasai atau memonopoli, artinya ini merupakan gejala-gejala ketidaktetapan hati. Hal demikian dikiranya cinta, padahal sebenarnya cinta itu mengandung kebebasan kepada sang kekasih yang sekaligus perlindungan agar tidak menyalahgunakan kebebasan.

Nafsu ingin mengalahkan orang lain disalahtafsirkan sebagai cinta.
Kencan di kalangan para pemuda, tidak jarang yang menimbulkan persaingan. Sebuah kompetisi cinta yang hanya menunjukkan ingin berkuasa dan dinyatakan sebagai pemenang. Mereka sangat bangga karena dapat mengalahkan para pesaing lainnya. Perasaan demikian disangkanya jatuh cinta, padahal hanyalah dorongan untuk menang dalam kompetisi.

Nafsu untuk menjaga ‘gengsi’ disalahtafsirkan sebagai cinta.
Kencan di kalangan para pemuda, tidak jarang berawal dari akibat ‘pelarian cinta’ karena telah dikecewakan kekasih, sehingga mendorongnya untuk cepat mencari gantinya dan ingin cepat kawin. Bisa jadi ada pepatah yang mengatakan “teklek kecemplung kalen- tinimbang golek haluwung balen.” Seolah-olah ia mengatakan kepada temannya itu,”Aku, juga nggak cinta kau. Tunggu, sebentarr lagi kan kau dengar gue kan kawin sama orang lain.” Tapi, perasaan demikian disangkanya saling mencintai padahal perasaan untuk menjaga gengsi.

Pemberian hadiah disalahtafsirkan sebagai cinta.
Hadiah di kalangan pemuda sering dilakukan sebagai bentuk perhatian atau pernyataan sebuah ciinta. Pemberian sebuah hadiah memang bisa menimbulkan rasa senang dan merupakan ungkapan cinta murni. Akan tetapi, hal demikian tidak selalu berarti cinta melainkan sebagai bentuk “pemaksaan secara halus” kepada si penerima agar tercipta kelangsungan hubungan yang manis. Hadiah semacam ini biasanya datang dari cinta sepihak atau dari si pemberi. Sementara itu, bagi penerima hadiah merasa senang yang dikiranya sebagai rasa cinta, padahal hanya rasa terikat atau tidak sampai hati.

Begitulah kira-kira beberapa hal yang dapat menjadikan kita mengambil sebuah kesimpulan tentang perasaan cinta yang sebenarnya bukan cinta. Tentu sebuah pembelajaran yang sangat berharga untuk dilewatkan dan sebuah memori yang sangat indah untuk dikenang agar kita menjadi orang yang cerdik. Rasulullah Saw mengingatkan: ”Orang yang cerdik ialah orang yang dapat menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk sesuatu sesudah matinya nanti sedang orang ahmak (kurang akal) ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan menggantungkan berbagai harapan kosong terhadap Allah” (HR. Tirmidzi)
Wallahu a’lam bi ash shawab.
Bersambung…

(A.Kuspriyanto, Juny, 2010 /cahayamu-abadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar