Sabtu, 29 Mei 2010

Lima Macam Cinta

Kemana Menemukan Cinta
(Bagian Ketiga)

CINTA, kata Jalaluddin Rumi, “adalah penyembuh bagi kebanggaan dan kesombongan, dan seluruh kekurangan diri. Dan hanya mereka yang berjubah cinta sajalah yang sepenuhnya tidak mementingkan diri”. Sementara itu, Charlie W Sheed menyatakan bahwa cinta itu dapat muncul di sembarang bentuk persahabatan; kencan, tawa bersama, seks, saling menyenangkan masing-masing dalam berteman.
Nampaknya orang akan meng-apresiasi cintanya masing-masing, sesuai dengan sudut pandangnya dan apa yang tengah dirasakannya. Dengan demikian kita akan menemukan bermacam-macam cinta. L. Saxton misalnya membagi cinta dalam; cinta altruisme, persahabatan, cinta seksual, dan cinta romantisme. Yang jelas bagaimana mungkin orang akan mengorbankan semua yang dimilikinya tanpa ada cinta? Atau tanpa motivasi apapun? Oleh karena itu, maka menurut penulis ada banyak label cinta berdasarkan kecenderungan motivasi utamanya.

Pertama, Cinta Materi
Rasanya sah-sah saja apabila ada yang mendasari pilihan cintanya dengan motivasi utama materi. Siapa sih yang tak butuh duit? Mau kencan butuh duit, mau ntraktir pacar butuh duit, mau kencing ke MCK Umum pun pakai duit. Pendek kata hampir semua aktifitas hidup membutuhkan yang namanya duit. Apalagi hidup di kota Metropolitan, sangat sulit hidup tanpa uang, kendatipun uang bukanlah segalanya.
Kelompok pertama, ini nampaknya melihat bahwa untuk berlangsungnya cinta baik proses maupun tujuannya mutlak membutuhkan materi. Oleh karenanya kelompok ini mendasarkan motivasi utama dalam menemukan pilihan cintanya berdasarkan material.

Mereka yang kaya, yang memiliki rumah bagus, kendaraan bagus , fasilitas lainnya yang lengkap dan sebagainya. Mereka adalah orang “the have” akan menjadi harapan dan mendapatkan ruang istimewa.


Kedua, cinta rupa
Kelompok kedua ini melihat cinta sebagai suatu yang agung, mengandung nilai-nilai estetika yang tidak selalu harus dihargai dengan uang semata, kesempurnaan penampilan (misal cuantik sekali, bahenol dsb) akan menjadikan motivasi utama dalam menemukan pilihan cintanya. Bisa jadi, disini orang “kecantol” karena pandangan pertama. Kecantikan atau penampilan yang berdasarkan kaca matanya sempurna dijadikan parameter utama. Maka beruntunglah orang yang dikaruniai rupa yang rupawan, di kelompok kedua ini tentunya mendapatkan tempat yang istimewa.

Ketiga, cinta tahta
Kelompok ketiga ini menjadikan tahta sebagai motivasi utama dalam menemukan pilihan cintanya. Memang tahta atau jabatan akan melekat dengan kekuasaan (legitimasi) dengan berbagai fasilitasnya. Dengan jabatan, bisa jadi sebuah kebanggaan dan kehormartan diri diperoleh karena sebuah jabatan. Maka beruntunglah orang yang punya jabatan kendatipun tidak ganteng atau cantik, di kelompok ketiga ini tentunya mendapatkan tempat yang istimewa.

Keempat, cinta keluarga
Kelompok keempat, ini melihat bahwa keluarga atau nasab/keturunan dengan berbagai asesorisnya dalam sebuah keluarga memegang peranan penting. Tidak bisa dielakkan bahwa cinta/ perkawinan sebenarnya adalah cinta mereka dan Keluarganya. Maka begitu pentingnya peran sebuah keluarga. Harta, kecantikan, jabatan bukanlah pertimbangan pertama bagi kelompok ini. Tapi keturunan yang baik dari keluarga ‘tertentu’ menurut ukuran mereka bisa jadi bahan motivasi utama mereka dalam menentukan pilihan cintanya.
Dalam salah satu hadist riwayat Syaikhain, Rasulullah Saw pernah menceritakan tentang wanita Arab yang lebih baik dari wanita Ajam. Dan kata dari sebaik-baik wanita Arab yang saleh ialah dari Kabilah Quraisy, mengingat mereka paling sayang terhadap anak-anaknya dan sangat memelihara harta suaminya.

Kelima, cinta akhlaq mulia
Kelompok kelima ini melihat cinta sebagai suatu fitrah dan instink yang agung dalam rangka menuju kebahagian di dunia dan akhirat. Pertimbangan akhlaq yang mulia sebagai implementasi agama yang dijalankan dengan semestinya. sebagimana diajarkan oleh Rasulullah Saw: “Wanita dinikahi karena empat perkara, yaitu: karena harta bendanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama (kuat agamanya) niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah r.a)

Sebuah Perenungan Cinta
Beraneka tipologi cinta di atas, hanyalah sebuah pilihan yang sebenarnya keputusan tergantung kepada pihak masing-masing sesuai apa yang diyakini di lubuk hatinya yang terdalam. Rasulullah Saw memang pernah mengingatkan terhadap beberapa kemungkinan terhadap pilihan tersebut. Menurut Riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ibnu Majah dan Imam Bazar serta Imam Baihaqi mengatakan:”Janganlah kalian mengawini wanita karena kecantikannya, karena barangkali kecantikannya itu dapat membuatnya durhaka, dan jangan pula kalian mengawini wanita karena hartanya, karena barangkali hartanya dapat membuatnya bersikap kelewat batas, tetapi kawinlah kalian dengannya karena agamanya; dan sesunggguhnya budak perempuan hitam beragama lebih utama (daripada wanita yang cantik lagi berharta tetapi agamanya lemah).”

Orang di seberang jalan pun mengadu:”Emang, sih maunya bigitu.Tapi, ternyata dapetnya jodoh ternyata beda dengan yang didamba. Cantik...nggak, kaya...nggak. Pinter ngaji, nggak juga. Keluarga terpandang, apalagi. Faktanya, dapet yang kayak gini, dah judes bin galak." Begitulah jodoh "memang misteri", dan mereka memberikan advice, katanya:"Udahlah, Bang. Lumayan, ada yang mbantu masak, mbantu nyuci baju, dan ada yang nemani tidur. Disyukuri saja, ... dari pada nggak dapat." katanya menghibur.


Kita ketahui bersama bahwa kriteria umum terpenting adalah agama dan akhlaq. Siapa yang memperoleh cinta/ menikah dengan wanita/ pria yang taat beragama dan mulia akhlaqnya, maka dia akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan kriteria lainnya, tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing. Seperti misalnya, apa yang dilakukan sahabat Jabir r.a., beliau menikahi seorang janda dengan pertimbangan wanita yang pernah menikah akan lebih mampu mengasuh dan mengurus adik-adik perempuannya yang masih kecil-kecil titipan dari almarhum ayahnya. Ia lebih mengutamakan untuk mengemban amanah almarhum ayahnya ketimbang menuruti keinginan pribadinya dalam memilih seorang istri. Ini adalah sikap mulia yang diridhai Allah Swt. Sikap Jabir menunjukkan telah sampainya pada tingkat kematangan pribadi dan kebijaksanaan berpikir sebagaimana diajarkan Rasulullah Saw.


Wallahu ‘alam bi ash shawab.
(A.Kuspriyanto, Mey 2010 /cahayamu-abadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar