Senin, 03 Mei 2010

KELUARGA SAKINAH : EMPAT PILIHAN


EMPAT PILIHAN MENUJU KEMULIAAN HIDUP

Pada dasarnya kemuliaan atau kebahagiaan hidup seseorang terpulang kepada diri mereka sendiri. Allah dan Rosul-Nya telah menunjukkan jalan agar manusia dapat memperoleh kemuliaan atau kebahagiaan hidup, tentunya tidak hanya di dunia saja, melainkan di dunia dan akhirat.
Memang banyak jalan untuk mencapainya, akan tetapi banyak pula rintangan. Mudah bagi orang yang sungguh-sungguh dan beriman, akan tetapi berat bagi orang yang tidak sungguh-sungguh dan tipis imannya.
Pada kenyataannya, tak mudah meraih memuliaan. Berbagai jalan telah dicoba, segala cara pun telah ditempuh, namun ternyata tidak sedikit kita saksikan hamba Allah di kalangan umat ini bahkan terperosok berpacu dengan nafsu yang melampaui batas. Maka bila kita perhatikan , tipologi kehidupan di dunia tak akan lepas dari empat situasi :
Pertama, hidup Bahagia di Dunia, Tapi sengsara di Akhirat
Mereka hidup berkecukupan di dunia atau mungkin hidup bergelimang harta dan kehormatan, akan tetapi kebahagiaannya sebenarnya semu dan tidak abadi, sebuah akhir kehidupan sengasara. Lihatlah bagaimana kisah sang Hartawan Qorun, hidup sepertinya tak akan kekurangan materi sampai ‘tujuh-turunan’ , akan tetapi ternyata apa yang terjadi, di akhir hidupnya Qorun tak sempat mewariskan hartanya, bumi telah menelannya bersama seluruh apa yang dimilikinya.
Demikian halnya hidup para koruptor, kekayaan materi, kehormatan, jabatan serta seluruh fasilitas yang dinikmati ,yang telah diperjuangkan siang dan malam, tak peduli harus “sikat kanan-sikat kiri’’, tak pedulikan sesuatu itu diperoleh dengan cara yang halal atau haram, yang terpenting terpuaskan dan terpenuhi kebutuhannya. Akibatnya timbullah berbagai kecurangan, penindasan, penipuan dan penyalahgunaan hak.
Inilah fenomena zaman, sebagaimana diingatkan oleh Rasulullah SAW:’Akan datang suatu masa kepada manusia, dimana pada masa itu seseorang tidak lagi memperdulikan apa yang diambilnya, apakah dari yang halal atau dari yang haram’. (HR.Bukhari dan Nasa’I dari Abu Hurairah)
Lihatlah di akhir episode kekidupan mereka di dunia ini, kejayaan yang diperoleh di masa tugasnya pun sirna dan tinggallah kesengsaraan di akhir kehidupannya. Apalagi di akhirat nanti, mereka harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sementara hingga ajal datang, taubat pun belum sempat dilakukan. Naudzubillahi min dzalik.
Kedua, Hidup Sengsara di Dunia, Bahagia Di akhirat
Kehidupan di dunia ini tak akan mungkin dipenuhi oleh orang kecukupan dan bahagia semuanya. Dari sekian banyak umat ini tidak sedikit mereka yang hidup “pas-pasan’ atau bahkan orang umum menyebutkan sengsara. Rumah sangat sederhana atau bahkan hanya mampu ngontrak, sekedar berteduh dari sengatan panas mentari, perabot rumah ala kadarnya, mungkin hanya ada karpet sebagai alas. Soal makan seadanya bisa jadi lebih banyak puasa sunnat, senin-kamis. Pendek kata ini gambaran para faqir- miskin , tapi mereka bahagia, mereka merasa tidak miskin hatinya. Berjuang dengan apa yang dikaruniakan oleh Allah SWT, dengan tetesan keringatnya untuk mencari yang halal, menghidupi keluarganya, serta untuk menjaga harga diri dan kehormatannya.
Lihatlah Rosulullah SAW, para sahabat serta para sholihin, beliau tidak sedikit yang hidup dalam kemiskinan. Dalam kemiskinannya tak membuatnya melupakan Allah SWT; dalam kekurangannya tak membuatnya melalaikan ibadah kepada-Nya. Bahkan mereka sangat bersyukur, hari ke hari dijalani dengan sabar dan ikhlas hingga ajal menjemputnya, ia pun tersungging senyum kegembiraan, Allah SWT memberinya husnul khotimah insya Allah.
Ketiga, Hidup Sengsara di Dunia dan Sengsara di Akhirat
Ini tipologi hidup dari anak manusia yang sungguh sengsara. Hidup miskin, rumah tak punya, banyak utang ‘ngemplang sana-ngemplang sini, digusur sana-sini. Kendatipun tak punya, gaya hidup dan angan-angan seperti orang yang tak miskin. Kalau ada sedikit rizki, bukan untuk ditabung, akan tetapi ia gunakan untuk maksiat (judi, minum miras,dll). “Molimo (Madat, main, madon, minum, maling)”, dan sebagainya , segala atribut kemaksiatan pun dijalaninya. Pendek kata kefaqiran atau kemiskinannya tidak membuatnya sadar dan dekat kepada Sang Pencipta, tetapi justru semakin menjauh dari ibadah kepada Allah SWT.
Di episode akhir kehidupan di dunia, mereka mati tanpa pusara , tanpa nama dan tanpa penghormatan. Sengsara di dunia , apalagi di akhirat akan lebih sengsara. Naudzubillahi min dzalik
Keempat, Hidup Bahagia di Dunia dan Bahagia di akhirat
Ini tipologi kehidupan orang yang bahagia, hidup “enak-kepenak, tentrem ayem”. Hidup kecukupan, kendatipun hidup sederhana. Kekayaan atau hartanya tidak membuatnya melalaikan kuwajibannya; untuk mensukseskan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah, menjalin silaturahmi dan menunaikan hak-haknya Allah SWT.
Alhamdulillah, ia dikaruniai Allah istri / suami yang sholeh/sholehah; anak-anak yang berbakti, ekonomi yang mapan dan berkah, serta berada di lingkungan yang sholih. Lengkaplah sudah kebahagiannya, kendatipun demikian ia menyadari bahwa hartanya atau apapun yang ia miliki adalah modal untuk ibadah, meraih keridhoan Allah, maka ia nafkahkan di jalan Allah. Allah SWT berfirman : “…Dan apa saja harta yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah 272)
Akhirnya pada akhir episode kehidupan, ia meninggalkan dunia yang fana ini, dengan membawa nama yang baik, amal sholih yang dengan ikhlas telah diperjuangkannya menghantarkan ia menghadap sang Khaliq dengan tenang, tersungging senyuman “husnul khotimah”. Akhir perjalanan hidup yang baik. Harta tak dibawanya, tapi iman dan amal sholeh yang mengantarnya menuju kehidupan yang abadi.
Demikian tadi tipologi kehidupan dunia yang beraneka-ragam, banyak pilihan sesuai dengan situasinya masing-masing. Agama telah mengajarkan pilihan mana yang terbaik sebagaimana Allah SWT berfirman : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi..” (QS.Al Qashash 77). Sekarang pilihannya tergantung kepada kita, untuk menentukan pilihan yang terbaik. Semoga Allah SWT memberikan taufiq, hidayah serta inayahnya kepada kita dalam mengarungi bahtera kehidupan ini.
(K. Prie/ Depkes, Magelang/ Apr’2010)

1 komentar: